Penulis;
Sueb Qury - Ketua LTN NU NTB
Opini - Kita tidak boleh lari dari fakta politik, apalagi itu
pesta demokrasi yang momentunya memilih pemimpin daerah. Siapa yang lemah dan
tidak mengambil ruang itu, pasti akan ditinggal lima tahun kedepan. Dan tidak
ada yang salah dari kesekian banyak cara untuk melibatkan kekuatan besar yang
bernama Nahdlatul Ulama (NOT), jika itu pada koridor yang dibenarkan secara
berjamaah (kolektif) untuk sebuah cita-cita bersama dengan tujuan bersama
membangun keumatan dan membangun NU secara internal.
Reason,
kekuatan NU sebagai organisasi yang memegang janji para ulama, yakni kembali ke
khittah, tentu pada prinsipnya adalah menjaga marwah organisasi dan tidak pada
politik praktis. Apa yang menjadi peta jalan bagi generasi NU adalah membangun
jami’yah dengan prinsip dan ciri, yaitu tetap melestarikan cara ibadah
(amaliyah), penguatan gerakan kelembagaan (harokah), membangun cara berpikir
(fiqroh) serta tetap dalam satu semangat dan nafas (ghiroh) menjaga tradisi
kebesaran dan membesarkan NU. Panduan dasar bagi generasi NU sudah jelas untuk
bergerak. Bukan lagi berbicara pada tataran, siapa yang memperalat NU dan menjadikan
NU sebagai alat politik.
Sudah
saatnya, qhiroh an-nahdiyah sejatinya dimanifestasikan pada spektrum yang lebih
praktis. Dan inilah saatnya, ruang itu dipraktikkan pada pesta demokrasi lokal
(election), yang dilaksanakan pada 9 December 2020 of 7 kabupaten Kota di Nusa
Tenggara Barat (NTB). Suatu kebanggan juga, kesempatan bisa tampil
berkontestasi bagi kader-kader terbaik NU di 7 kabupaten dan kota di pilkada
nanti.
Pilkada
ini adalah cermin dari kemampuan dan kesiapan infrastruktur politik kader dan
organisasi yang membesarkan mereka, sebut saja di Kabupaten Sumbawa Barat ada
calon petahana H. Musyafiri, begitu juga di Kabupaten Sumbawa ada Wakil Bupati
(H. Mahmud Abdullah), Kabupaten Dompu ada H. Syaifurahman, dan di Lombok Tengah
ada Wakil Bupati Bajang Hul (H. L. Pathul Bahri-Nursiah) serta paket
Masrun-Aksar yang semuanya ini adalah kader terbaik NU. Kita doakan yang
terbaik untuk kader-kader NU NTB, yang maju di kontestasi politik nanti.
Apa
yang kita lihat hari ini dengan munculnya para kader terbaik NU untuk ikut
menjadi khodamnya rakyat di 7 kabupten dan kota di NTB. Bukan ujuk-ujuk atas
keinginan pribadi atau keluarga. Melainkan dari kuatnya kapasitas personal, dan
kita tidak ragukan lagi. Ia sudah teruji diberbagai medan dan diyakini bisa
menjadi pilihan terbaik bagi rakyat serta lebih khusus lagi warga NU di NTB.
Dan
inilah sesungguhnya, apa yang biasa disebut oleh para ulama yakni “;Tasaruful
al imam al raiyah manuntum bil maslah”; adalah berpijak dari prilaku
kepemimpinan apa yang sudah dan akan dilakukan semuanya bertujuan untuk
kemaslahatan umat. Siapa diantara para kader NU itu? Tentu yang sedang dan
sudah berbuat yang terbaik untuk umat dan warga NU.
Disinilah
para kader-kader NU berproses dan diuji kematangan bersikap dalam mengambil
sebuah pilihan yang terbaik dari yang terbaik. Mengapa mesti memilih yang
terbaik dari yang baik dan itulah yang biasanya diambil dari sebuah keputasan
dalam berjamaah ala an -nahdiyah. Dan harus diakui dalam berjamaah tidak ada
otoritas tunggal yang bisa memutuskan suatu sikap politik atau sikap ke-umatan.
Dan
patut dijadikan referensi apa yang dilakukan oleh almarhum KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur. Saat beliau bersafari kepada kyai-kyai khos dan meminta
restu kyai langitan terkait dengan penyelamatan bangsa dan siapa pemimpin
negara ini. Disitulah makna dan hakikat sejati dari musyawarah. Para kiyai
langitan yang memberikan isyarat bahwa Gus Dur bisa menjadi Presiden Republik
Indonesia. Dan bukti sejarah itu, tertulis dalam riwat hidup para kyai dan juga
tertulis dalam lembar sejarah ke-negaraan bahwa Gus Dur adalah Presiden RI
keempat di negeri ini.
Dalam
konteks pilkada hari ini, jamiyah Nadlatul Ulama harus ambil bagian itu dan
memenangkan pilihan secara berjamaah. Ini merupakan bagian dari aktivitas
politik berjamaah untuk kepentingan yang lebih besar. Dan belajar dari cara
terbaik, apa yang dilakukan oleh mendiang Gus Dur adalah bagian dari pilihan
politik ke-umatan yang berlandaskan pada kaidah dan norma dalam organisasi yang
disebutkan dalam bahasa hukum, Lex specialis derogat legi generali. Artinya
asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Mungkin
saja bisa, bila kita tarik diruang politik. Bahwa NU hadir sebagai jawaban atas
kebiasaan yang tidak biasa mendukung secara organisasi, but, politik kehadiran
yang disebut dengan berjamaah itulah menjadi khusus. Dan pemikiran ini, bisa
saja salah dalam penempatannya. Sebagai sebuah solusi dengan harapan
menyelamatkan keadaan dan kader NU dalam berkontestasi.
Tidak
ada benda mati yang tidak bisa digerakkan oleh sebuah kekuatan yang
terorganisasi dengan baik, begitu juga dengan suara dan pilihan yang
terorganisir dengan baik akan menghasilkan pemimpin dan organisasi pemerintah
yang baik pula. Semoga momentum pesta demokrasi yang dipahami oleh masyarakat
umum sebagai pesta demokrasi lima tahun sekali ini sebagai uji kekuatan yang
terorganisir dengan baik dan bersama untuk sebuah kemenangan jamiyah NU di 7
kabupaten Kota. Penulis mendoakan, agar kader-kader terbaik NU NTB, yang
nantinya maju dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah di awal Desember
2020 nanti diberikan keafiatan dan tentu juga kemenangan sebagai pemimpin
(District head). Wassalam. - Kita tidak boleh lari dari fakta politik, apalagi itu
pesta demokrasi yang momentunya memilih pemimpin daerah. Siapa yang lemah dan
tidak mengambil ruang itu, pasti akan ditinggal lima tahun kedepan. Dan tidak
ada yang salah dari kesekian banyak cara untuk melibatkan kekuatan besar yang
bernama Nahdlatul Ulama (NOT), jika itu pada koridor yang dibenarkan secara
berjamaah (kolektif) untuk sebuah cita-cita bersama dengan tujuan bersama
membangun keumatan dan membangun NU secara internal.
reason,
kekuatan NU sebagai organisasi yang memegang janji para ulama, yakni kembali ke
khittah, tentu pada prinsipnya adalah menjaga marwah organisasi dan tidak pada
politik praktis. Apa yang menjadi peta jalan bagi generasi NU adalah membangun
jami’yah dengan prinsip dan ciri, yaitu tetap melestarikan cara ibadah
(amaliyah), penguatan gerakan kelembagaan (harokah), membangun cara berpikir
(fiqroh) serta tetap dalam satu semangat dan nafas (ghiroh) menjaga tradisi
kebesaran dan membesarkan NU. Panduan dasar bagi generasi NU sudah jelas untuk
bergerak. Bukan lagi berbicara pada tataran, siapa yang memperalat NU dan menjadikan
NU sebagai alat politik.
Sudah
saatnya, qhiroh an-nahdiyah sejatinya dimanifestasikan pada spektrum yang lebih
praktis. Dan inilah saatnya, ruang itu dipraktikkan pada pesta demokrasi lokal
(election), yang dilaksanakan pada 9 December 2020 of 7 kabupaten Kota di Nusa
Tenggara Barat (NTB). Suatu kebanggan juga, kesempatan bisa tampil
berkontestasi bagi kader-kader terbaik NU di 7 kabupaten dan kota di pilkada
nanti.
Pilkada
ini adalah cermin dari kemampuan dan kesiapan infrastruktur politik kader dan
organisasi yang membesarkan mereka, sebut saja di Kabupaten Sumbawa Barat ada
calon petahana H. Musyafiri, begitu juga di Kabupaten Sumbawa ada Wakil Bupati
(H. Mahmud Abdullah), Kabupaten Dompu ada H. Syaifurahman, dan di Lombok Tengah
ada Wakil Bupati Bajang Hul (H. L. Pathul Bahri-Nursiah) serta paket
Masrun-Aksar yang semuanya ini adalah kader terbaik NU. Kita doakan yang
terbaik untuk kader-kader NU NTB, yang maju di kontestasi politik nanti.
Apa
yang kita lihat hari ini dengan munculnya para kader terbaik NU untuk ikut
menjadi khodamnya rakyat di 7 kabupten dan kota di NTB. Bukan ujuk-ujuk atas
keinginan pribadi atau keluarga. Melainkan dari kuatnya kapasitas personal, dan
kita tidak ragukan lagi. Ia sudah teruji diberbagai medan dan diyakini bisa
menjadi pilihan terbaik bagi rakyat serta lebih khusus lagi warga NU di NTB.
Dan
inilah sesungguhnya, apa yang biasa disebut oleh para ulama yakni “;Tasaruful
al imam al raiyah manuntum bil maslah”; adalah berpijak dari prilaku
kepemimpinan apa yang sudah dan akan dilakukan semuanya bertujuan untuk
kemaslahatan umat. Siapa diantara para kader NU itu? Tentu yang sedang dan
sudah berbuat yang terbaik untuk umat dan warga NU.
Disinilah
para kader-kader NU berproses dan diuji kematangan bersikap dalam mengambil
sebuah pilihan yang terbaik dari yang terbaik. Mengapa mesti memilih yang
terbaik dari yang baik dan itulah yang biasanya diambil dari sebuah keputasan
dalam berjamaah ala an -nahdiyah. Dan harus diakui dalam berjamaah tidak ada
otoritas tunggal yang bisa memutuskan suatu sikap politik atau sikap ke-umatan.
Dan
patut dijadikan referensi apa yang dilakukan oleh almarhum KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur. Saat beliau bersafari kepada kyai-kyai khos dan meminta
restu kyai langitan terkait dengan penyelamatan bangsa dan siapa pemimpin
negara ini. Disitulah makna dan hakikat sejati dari musyawarah. Para kiyai
langitan yang memberikan isyarat bahwa Gus Dur bisa menjadi Presiden Republik
Indonesia. Dan bukti sejarah itu, tertulis dalam riwat hidup para kyai dan juga
tertulis dalam lembar sejarah ke-negaraan bahwa Gus Dur adalah Presiden RI
keempat di negeri ini.
Dalam
konteks pilkada hari ini, jamiyah Nadlatul Ulama harus ambil bagian itu dan
memenangkan pilihan secara berjamaah. Ini merupakan bagian dari aktivitas
politik berjamaah untuk kepentingan yang lebih besar. Dan belajar dari cara
terbaik, apa yang dilakukan oleh mendiang Gus Dur adalah bagian dari pilihan
politik ke-umatan yang berlandaskan pada kaidah dan norma dalam organisasi yang
disebutkan dalam bahasa hukum, Lex specialis derogat legi generali. Artinya
asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Mungkin
saja bisa, bila kita tarik diruang politik. Bahwa NU hadir sebagai jawaban atas
kebiasaan yang tidak biasa mendukung secara organisasi, but, politik kehadiran
yang disebut dengan berjamaah itulah menjadi khusus. Dan pemikiran ini, bisa
saja salah dalam penempatannya. Sebagai sebuah solusi dengan harapan
menyelamatkan keadaan dan kader NU dalam berkontestasi.
Tidak
ada benda mati yang tidak bisa digerakkan oleh sebuah kekuatan yang
terorganisasi dengan baik, begitu juga dengan suara dan pilihan yang
terorganisir dengan baik akan menghasilkan pemimpin dan organisasi pemerintah
yang baik pula. Semoga momentum pesta demokrasi yang dipahami oleh masyarakat
umum sebagai pesta demokrasi lima tahun sekali ini sebagai uji kekuatan yang
terorganisir dengan baik dan bersama untuk sebuah kemenangan jamiyah NU di 7
kabupaten Kota. Penulis mendoakan, agar kader-kader terbaik NU NTB, yang
nantinya maju dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah di awal Desember
2020 nanti diberikan keafiatan dan tentu juga kemenangan sebagai pemimpin
(District head).