Opini - Aksi demonstrasi mahasiswa marak terjadi akhir-akhir ini untuk menuntut pembatalan UU Omnibus Law. Banyak dari aksi yang dilakukan oleh elemen buruh dan mahasiswa berakhir dengan ricuh, banyak juga berakhir dengan aksi damai.
Mahasiswa, pemuda adalah agen perubahan dan sosial. Tetapi apa jadinya ketika mahasiswa atau pemuda tidak lagi menjalankan fungsinya?
Mahasiswa tidak lagi duduk dan berdiskusi di kantin-kantin, di taman-taman dan lorong-lorong kampus. Mahasiswa tidak lagi menyukai kajian-kajian kritis. Mahasiswa tidak lagi menyukai aksi-aksi dalam menyuarakan suara-suara rakyat. Mahasiswa lebih menyukai “nongkrong” dan ngopi-ngopi dengan membicarakan hal-hal yang tidak penting atau mengecek hand phone yang belum tentu memiliki pulsa.
Gaya hidup mereka pun kian menjadi hedonis, tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitar mereka. Malu, bagi mereka untuk turun ke jalan atau berdemonstrasi. Karena banyak dilihat orang dan takut akan panas teriknya matahari, membuat kulit-kulit putih mereka menjadi hitam. Inilah generasi “ongkang-ongkang”. Generasi yang nyantai-nyantai, menerima apa adanya, tidak peduli kondisi sosial yang mereka tempati seolah-oleh tidak terjadi apa-apa. Generasi ini seperti virus yang cepat menyebar ketik dimsukkan ke komputer. Dan dibutuhkan anti virus yang tangguh untuk menghilangkan atau mendeletnyas
Modernitas Faktor Determinan
Kehidupan mahasiswa yang hedonis, lebih suka “nongkrong” yang tidak jelas, ngumpul-ngumpul tanpa ada tujuan, dan lain-lain dapat kita jelaskan misalnya dalam teori sosial.
Asumsi umum dalam teori ilmu sosial menyebutkan bahwa perubahan adalah factor determinan dalam perubahan perilaku seseorang. Cakupan konsep perubahan adalah yang diidentifikasi sebagai pembangunan dan perkembangan (development), kemajuan (progresif), modernisasi, reformasi, transformasi, revolusi, dan lain-lain. Perubahan yang terus-menerus secara berlanjut serta dalam skala waktu dan ruang yang makin luas, maka makin berkomplikasi dan berakumulasi dalam seluruh segi kehidupan dari makin banyak segmen sosial dan pertumbuhan yang makin dipercepat (Prisma, No 1 – 1998).
Pembangunan gedung-gedung kampus (red: uin Jakarta) bagaikan gedung pencakar langit dengan segala fasilitasnya, kantin-kantin atau kafe-kafe kecil bermunculan; komersialisasi lahan kampus, misalnya pengelolaan lahan parkir motor untuk mahasiswa dikelola oleh perusahaan swasta dengan memunguti uang parker kepada mahasiswa. Sehingga kampus tidak lagi sebagai tempat mencari kebenaran; kampus tidak lagi sebagai tempat para intelektual merumuskan dan mengkritisi kebijakan pemerintah, tetapi lebih sebagai tempat mall-mall di kota besar.
Kondisi demikian dapat mempengaruhi perilaku, tingkah laku dan pola kehidupan mahasiswa. Individualis, gaya hidup yang mewah, berpakaian ala artis, sibuk dengan tanggapan-tanggapan status di facebook dan tidak lagi kritis dengan kondisi sosial masyarakat sekitar adalah dampak dari kondisi tersebut. Apa jadinya dunia ini kalau kondisi mahasiswanya seperti itu.
Revolusi Kesadaran
Untuk itu kita membutuhkan sebuah kesadaran yang mendalam, itulah revolusi kesadaran. Revolusi kesadaran seperti dalam pemikiran Gramsci yaitu the war of position, perang poisisi. Yakni sebuah peperangan moral dan intelektual (Kholis Malik, opini). Sehingga dapat membangkitkan kesadaran kritisnya. Kesadaran terhadap kondisi sosialnya; kesadaran terhadap keterkungkungan atau keterbelenguan modernisme yang mengakibatkan hedonis, individualis dan keteralianasi.
Dalam kerangka revolusi kesadaran, kita juga membutuhkan peran mahasiswa organik. Yaitu mahasiswa yang sadar akan kondisi lingkungannya dan ke mana dia akan mengabdikan diri. Memperjuangkan hak-hak rakyat dan menumpas para koruptor. Sebagaimana kata-kata Soe Hok Gie “Kita adalah generasi baru ditugaskan untunk memberantas generasi tua yang mengacau, kita adalah hakim yang dituduh koruptor-koruptor tua, kitalah generasi yang memakmurkan Indonesia”.
Seperti gerakan mahasiwa dan pemuda menumbangkan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan mahasiswa dan pemuda tersebut menjadi morot penggerak penumbangan rezim tersebut. Salah satu yang mereka lakukan adalah menyatukan gerakan mereka dengan rakyat, elemen-elemen buruh dan tani. Menyebut contoh gerakan mahasiwa angkatan 66 dan gerakan mahasiswa 98. Yang akhir-akhir ini kurang terlihat dalam penolakan UU Omnibus Law, mahasiswa dan buruh sertai elemen-elemen lain tidak menyatukan diri dan memilih aksi ke jalan dengan sendiri-sendiri. Untuk itu, siap elemen gerakan harus memiliki revolusi kesadaram, kesadara akan kondisi sosial, kesadaraan menuntuk keadilan dari ketertindasan.
Oleh karena itu, kemandirian dan karekter serta intelektua kritis sebagai mahasiswa, pemuda harus dimiliki dalam menghadapi berbagai kondisi sosial yang kian komplek, dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan yang adil dan beradab. Selamat Hari Sumpah Pemuda.
Oleh: Samsul Anwar