Foto: Dr. Lalu Nurul Yaqin, Ph.D. Direktur LPPM UGR Indonesia |
Sebagaimana disampaikan Dr. Lalu Nurul Yaqin bahwa empat buah buku itu dilaunching pada Jum'at, 18 Desember 2020 kemarin di Hotel Puri Senggigi.
Untuk buku Sasakologi buah karyanya itu, lanjutnya, merupakan volume pertama dari serangkaian tulisan tentang nilai-nilai kesasakan yang akan ditulis ke depannya.
Hanya saja, katanya, untuk volume pertama ini, akan difokuskan pada nilai-nilai kesantunan yang ada dalam budaya orang Sasak yang tersebar dalam berbagai ritual adat-keagamaan serta dalam pola komunikasi mereka sehar-hari.
“Untuk volume pertama ini saya akan fokus pada kajian tentang Politness Research In Sasak atau penelitian-penelitian mengenai nilai kesantunan yang ada dalam budaya Sasak,” paparnya. Senin, 21/12/2020.
Doktor muda yang konsern pada kajian Sosio-Lingusitik ini menjelaskan bahwa Ia memilih judul Sasakologi untuk bukunya yang ke sekian itu karena kajian etnologi yang ada di tempat-tempat lain sudah banyak dilakukan, seperti kajian megenai Etnis Jawa yang dikenal dengan istilah Javakologi, kajian tentang Etnis Aceh disebut Acehkologi dan seterusnya.
Karena itulah, simpulnya, melalui buku Sasakologi itu Ia ingin memperkenalkan sebuah kajian khusus mengenai suku bangsa Sasak beserata seluruh keraifan dan nilai filosofis yang ada dalam kehidupan mereka.
“Mengapa namanya Sasakologi? Karena kajian untuk etnis lain seperti jawa misalnya, ada namanya Javakologi, untuk Aceh ada namanya Acehkologi, kajian mengenai Suku Sasak itu namanya Sasakologi, yaitu sebuah ilmu yang merangkum segala bentuk nilai yang ada pada budaya Sasak” jelasnya.
Menurutnya, buku Sasakologi itu sangat recommended bagi para peneliti, terutama para peneliti luar orang Sasak. Pasalnya, selain berisi penjelasan-penjelasan mengenai makna ritual adat dan keagamaan bangsa Sasak, penulis juga memberikan semacam guide line dan serangkaian metodologi dalam melakukan penelitian tentang Etnis Sasak.
Dr. Yaqin mengibaratkan bukunya itu seperti sebuah kompas bagi para peneliti, terutama peneliti dari luar negeri. Karena itulah, buku tersebut ditulis dalam versi Bahasa Inggris.
Salah satu poin penting mengapa ditulis dalam bahasa inggris, jelas Dr. Yaqin ialah supaya mudah diakses oleh para peneliti luar negeri. Tak hanya itu, sambungnya, agar sedikit banyak memberikan penjelasan kepada mereka terkait tradisi dan ritual bangsa Sasak serta tidak disalahpahami.
Merariq misalnya, ujarnya melanjutkan, banyak peneliti yang menilai bahwa tradisi itu adalah tradisi yang amoral dan termasuk perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi, kalau kita kaji lebih jauh, sambungnya, ternyata tidak sesederhana itu.
“Di sana saya mengkonter teori komunikasi Makxim Quality yang mengatakan bahwa komunikasi itu terjadi secara kualitatif dan substansial,” ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya yang kemudian dimuat dalam buku itu, Dr. Yaqin menemukan bahwa pola komunikasi orang Sasak secara tidak langsung telah meruntuhkan teori Maxim yang dicetuskan Paul Grice.
Kenapa? Karena pola komunikasi orang Sasak, katanya, tidak selalu menjawab persis seperti apa yang ditanyakan oleh lawan bicara, melainkan menggunakan basa-basi yang terkesan ngalor-ngidul.
Kendati demikian, kata Dr. Yaqin, ngalor-ngidulnya komunikasi orang Sasak itu bukan tidak mengandung makna simbolik. “Justru di sanalah makna simbolik itu, di sanalah letak nilai-nilai kesantunan itu,” katanya.
Tak hanya soal pola komunikasi orang Sasak yang dijabarkan dalam buku tersebut, Dr. Yaqin mengatakan bahwa di dalam buku Sasakologi itu juga menyasar tradisi dan ritual yang masih dijalankan oleh orang Sasak, seperti tradisi Merariq.
Dia memaparkan bahwa, dalam pandagan peneliti luar, Merariq dipandang sebagai tindakan amoral dan melawan hukum.
Namun, kata Doktor lulusan Universitas Of Malaya Malaysia itu, Merariq justru merupakan sebuah simbol yang menggambarkan kemampuan si laki-laki untuk bertanggung-jawab terhadap istrinya.
“Di dalamnya ada nilai-nilai keberanian, heroisme, rasa tanggungjawab sebagai seorang suami dan lain sebagainya,” paparnya. (yns)