Peresensi: Muhammad Yunus* |
Berangkat dari sebuah fenomena sosial keagaaman masyarakat kota yang memberikan tanda bahwa orang-orang yang hidup di wilayah perkotaan itu terlihat seperti haus akan siraman Rohani. Sehingga, untuk mendapatkan ketenangan batin di tengah hiruk pikuk industri dengan berbagai prestasi pembangunannya itu, bermunculan berbagai macam majelis dzikir.
Dengan kata lain, di tengah kemajuan pesat masyarakat perkotaan justru mereka mengalami krisis eksistensi, krisis kepercayaan yang membuat jiwanya kian gersang dan gamang. Maka tidak heran, jika fenomena hijrah di kalangan artis dan pesohor dunia terus tumbuh dan menjelang.
Keadaan semacam itu menjadi kontras dengan fenomena sosial keagaaman masayarakat pedesaan. Kita hampir tak menemukan adanya perubahan perilaku keagamaan di pedesaan seperti yang terjadi di kota. Praktik sosial keagaaman masyarakat pedesaan demikian ajeg dan langgeng, apa yang mereka pegang sebagai keyakinan dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sudah paten dan final, bahkan seperti sudah menjadi bagian dari rutinitas keseharian mereka.
Pertanyaannya, faktor apa yang membuat masyarakat pedesaan tak mengalami pergeseran perilaku dalam menjalankan praktek keagamaan? Apa yang membuat masyarakat pedesaan menjadi lebih seimbang dalam menjalani kehidupan yang terus berubah dan berkembang ini? Kenapa kita yang hidup di Desa-desa terlihat lebih mampu menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual kita? Dan seterusnya dan sebagainya.
Fenomena semacam itulah, dalam hemat saya, yang dijadikan starting point oleh penulis untuk mengawali bukunya ini. Secara umum karya ini ingin memberikan gambaran atas dua fenomena sosial yang penulis temukan, pertama ialah fenomena sosial keagamaan masyarakat perkotaan dan fenomena sosial keagamaan masyarakat pedesaan.
Kita tahu bahwa pola hidup masyarakat kota lebih hedonis dan matrealis, tetapi yang menarik adalah orang-orang kota mulai berbondong-bondong untuk mencari pencerahan dan ketenangan jiwa, mereka tetiba merasa butuh sandaran vertikal yang kokoh serta pengakuan bahwa mereka juga orang-orang soleh yang dekat dengan Tuhan.
Fenomena kedua ialah fenomena sosial keagamaan masyarakat pedesaan, di mana dalam bukunya ini penulis menjadikan Desa Bagu, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai lokus penelitiannya.
Apa sebab? Tentu larena Desa tersebut cukup representatif menggambarkan keadaan sosial keagamaan masyarakat pedesaan yang kontras dengan keadaan sosial keagamaan masyarakat perkotaan serta menjadi jawaban atas rentetan pertanyaan di atas.
Mengapa masyarakat pedesaan tidak terkontaminasi oleh dampak negatif dari kemajuan zaman, tidak hilang arah dan mengalami kegersangan jiwa, serta tetap terhubung dan menjaga intimitas dengan Tuhan? Karena di Desa, biasanya ada sosok kharismatik di tengah-tengah mereka yang secara konsisten memberikan pembinaan spiritual bagi masyarakat. Dalam bahasa Tasawuf tokoh tersebut disebut dengan nama Mursyid (pembimbing spiritual).
Konsistensi dari seorang Mursyid inilah yang membuat fenomena sosial keagamaan masyarakat pedesaan tetap kokoh dan teguh seperti yang terjadi di desa Bagu yang menjadi objek penelitian penulis. Dari sini kemudian penulis menjabarkan secara panjang lebar mengenai Desa Bagu di mana di Desa itu terdapat sosok kharismatik panutan masyarakat yang menjadi Mursyid sebuah tarekat yang tidak begitu populer di kalangan akademisi yakni Tarekat Qodiriyah Khalwatiyah Bengkel.
Nah, siapa tokoh kharismatik yang menjadi Mursyid itu, seperti apa bentuk ajaran dan amalannya, semuanya dikupas tuntas dalam buku ini. Karena itulah, praktis buku ini adalah buku sejarah, yakni sejarah Tarekat Qodiriyah Khalwatiyah Bengkel yang berkembang di Desa Bagu.
Barangkali pembaca bertanya, Kenapa ada tambahan Bengkel, bukankah Bengkel itu wilayah yang berbeda dengan Bagu? Saya kira pertanyaan itu tidak perlu dijawab di sini, cukup dengan mengkhatamkan buku ini, maka pasti akan ada jawabannya di sana.
Karena buku ini merupakan Tesis penulis saat mendapatkan gelar S2, maka tidak heran jika nuansa akademiknya sangat kental. Nyaris di setiap halaman terdapat referensi atau rujukan. Dan sistematika penulisannya juga sangat rigid Dan ketat menggambarkan tingkat nilai akademisnya sangat tinggi.
*Wartawan Selaparangnews.com. Pernah menjadi Mahasantri (Mahasiswa dan Santri) di Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi Kepanjen, Kabupaten Malang.