Judul : Peradaban Sarung (Veni, Vidi, Santri)
Penulis : Ach. Dhofir Zuhry
Terbit : 2018
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo KOMPAS GRAMEDIA
Tebal : 255 Halaman
Adakah yang tak kenal nama Pesantren dan Santri di Sabang-Merauke ini? Adakah yang masih bertanya-tanya dan meraba-raba mahkluk macam apakah ia?
Tak pelak lagi bahwa Pesantren merupakan nama yang sangat familiar di telinga kita, tempat yang amat dikeramatkan di satu sisi dan paling banyak digagal-pahami di sisi lain.
Pesantren dianggap (semata-mata) sebagai tempat menghabiskan waktu di luar sekolah formal untuk belajar Agama sebagai bekal hidup di masa tua, atau hanya sebagai tempat menebar jala barokah dan pahala.
Seakan-akan pesantren hanya tempat belajar cara wudhu, solat dan ibadah-ibadah wajib lainnya. Pesantren tidak lebih dari sekedar tempat penitipan anak yang paling baik dan aman di zaman milenial ini.
Pemahaman semacam itu sepertinya masih jamak tersebar di seluruh penjuru Indonesia, di mana pesantren itu berdiri kokoh menjadi oase bagi lingkungan sekitarnya. Bahkan, apa yang saya pahami tentang pesantren selama ini, nyaris sama seperti di atas.
Hanya saja, saya sangat mengagumi betapa orang-orang sarungan itu begitu militan dalam melestarikan tradisi membaca, yaitu membaca kitab kuning yang nota benenya adalah kitab berbahasa asing dan tidak memiliki tanda baca di dalamnya.
Bukankah hanya orang-orang yang tercerahkan yang mengerti betapa pentingnya budaya literasi? Oleh karenanya, menghatamkann buku Peradaban Sarung ini membuka mata saya betapa eksistensi pesantren memiliki makna yang sangat tinggi.
Buku ini tidak hanya membeberkan makna filosofis pesantren dan santri dengan segala aktifitas dan elemen yang ada di dalamnya, melainkan juga bagaimana perannya selama ini sebagai pagar betis NKRI dan juga sumbangsihnya bagi peradaban dunia.
Kabar baiknya adalah, teknik narasi penulis dalam buku ini sangat ringan, sehingga pembaca dari kalangan manapun tidak akan kesulitan menangkap pesan-pesan utamanya.
Secara umum, buku ini dibagi menjadi empat bagian, di mana tiap-tiap bagiannya berisi belasan esai yang membahas berbagai persoalan yang berkaitan dengan Pesantren. Jika coba saya runut sendiri topik-topik yang dibicarakan dalam buku ini, kira-kira bentuknya akan seperti ini:
Bagian pertama fokus mengelaborasi makna filosofis dari santri, seperti:apa santri itu, bagaimana ia dikader sewaktu nyantri di pesantren serta bagaimana outputnya nanti ketika terjun ke masyarakat.
Bagian kedua mengupas makna Kiai serta perannya dalam membangun dan menjaga tatanan kehidupan yang baik, terutama di dalam lingkungan pesantren itu sendiri.
Bagian ketiga adalah bagian yang menjelaskan ilmu-ilmu hikmah yang banyak diwariskan dan diajarkan kepada santri di pesantren, seperti: toleransi, kesabaran, keikhlasan, kesolehan, tawaddu’, kesederhanaan, kepedulian, dll.
Dan, pada bagian yang terakhir, yaitu bagian yang keempat membahas mengenai jiwa patriotisme dan semangat membangun yang ditumbuhkan ke dalam jiwa para santri oleh para Kiai di pesantren.
Pada bagian ini juga (secara implisit) penulis mengelaborasi corak keislaman Indonesia yang dikembangkan melalui pesantren-pesantren, serta sumbangannya bagi peradaban dunia.
Kelebihan buku ini adalah, ia mampu menyajikan sebuah pembahasan yang sebenarnya cukup berat dan luas dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Sangat berbeda dari buku-buku sejenisnya yang penuh dengan istilah-istilah teknis yang rumit.
Gaya bahasanya yang meledak-ledak, mengalir dan agak satire membuat kita tidak merasa bosan membacanya. Bisa dikatakan bahwa hampir sebagian besar dari kalimat-kalimatnya bisa dijadikan kutipan (quote).
Oleh karenanya, bagi mereka yang suka dengan kata-kata bijak akan sangat senang membaca buku Peradaban Sarung ini.
Terlepas dari semua kelebihan dan keistimewaannya, ada beberapa hal yang barangkali perlu diperhatikan, di antaranya adalah segi sistematisasi dan klarifikasinya atas persoalan-persoalan yang menjadi target-target kritiknya.
Misalnya mengenai narasi besarnya: apa sebenarnya point utama yang ingin disampaikan penulis melalui buku ini. Mengapa hal itu penting? Karena apa yang dibahas oleh buku ini tidak sesederhana yang kita baca.
Menurut hemat saya, buku ini (sebenarnya) tidak hanya bercerita mengenai corak islam ala pesantren saja.
Buku ini mencoba memotret wajah peradaban dunia secara luas, di mana pesantren dengan ciri khasnya tersendiri sebagai lembaga pendididkan islam tradisional adalah salah satunya.
Dengan kata lain, konten buku ini memang cukup berkualitas, namun secara epistemologis dan metodologis ia masih menyisakan banyak ruang bagi pertanyaan-pertanyaan dan pembahasan.
Arikel ini pernah dimuat di Times Indonesia dengan judul Resensi Buku Peradaban Sarung
Peresensi: Muhammad Yunus