Foto: Belasan Ulama atau Tuan Guru Ikut Mengamankan Aksi Demonstrasi (Doc. Selaparangnews.com) |
Opini - Dalam Jurnal Al-Fath edisi Januari 2017, Aar Arnawati menguraikan kedudukan dan peran ulama dalam masyarakat. Menurutnya, Ulama memiliki porsi khusus dan sangat strategis, sebab Ia adalah pelanjut estafet para auliya Allah, mereka adalah pewaris para Nabi yang bertugas menjaga Agama Islam dan mengajak umat Islam agar lebih taat kepada Allah SWT.
Ibnu Katsir, memberikan pemaknaaan Ulama sebagai ‘Arif Billah yang benar-benar takut kepada Allah SWT. Sedangkan Sayyid Qutub memaknai Ulama sebagai orang yang mengkaji Alquran yang penuh keajaiban, yang mengenal Allah, mengetahui hakikat Allah, sifat Allah, dan kebesaran-Nya.
Selain itu, Ibnu Katsir dan Sayyid Quṭub juga menguraikan kedudukan Ulama sebagaimana yang termaktub dalam Q.S Ali ‘Imran ayat 18, di mana ayat tersebut mengelaborasi kedudukan dan martabat ulama yang didaulat sebagai sosok istimewa di hadapan Allah, terutama dalam hal kesaksian, di mana Kesaksian Ulama menjadi satu dari tiga kesaksian yang dianggap Adil setelah kesaksian Allah dan Malaikat.
Sementara Peran ulama menurut penafsiran Ibnu Katsir dan Sayyid Quṭub yaitu menyampaikan ajaran sesuai dengan ajaran Alquran menjelaskan kandungan Alquran, dan menyelesaikan permasalahan dan problem agama di masyarakat.
Dari uraian sederhana di atas, secara umum kita bisa memberikan interpretasi terkait kedudukan dan peran ulama, atau Tuan Guru (sebutan bagi Para Alim Ulama di Lombok) .
Fenomena yang terjadi baru-baru ini, menjadi perbincangan banyak pihak, di mana beberapa tokoh masyarakat yang katanya adalah Tuan Guru, terlibat dalam mengawal Aksi Unjuk Rasa mahasiswa. Penulis menilai Hal itu Menjadi warna baru, aktivitas Tuan Guru dalam mengawal Demokrasi kita. Itupun jika memang benar bahwa Tuan Guru terlibat mengawal aksi unjuk rasa.
Dalam pada itu, sebagai seorang muslim pandangan penulis tetap mengacu pada Maslahah Mursalah dalam bermu'amalah, sebab memang, Islam memberikan kita rambu-rambu dalam bernegara dan bermu'amalah melalui sumber hukum yang ada.
Seperti dalam Qaidah Ushul Fiqh misalnya, dikatakan bahwa Dar’ul Mafaashid Muqoddamun 'Ala Jalbil-Masholihi, Mencegah Mudharat harus didahulukan daripada mengambil Maslahat.
Dalam poin ini, langkah yang diambil Polres Lombok Timur dengan melibatkan Tuan Guru, penulis nilai, cukup penting, sebab hal tersebut sebagai upaya antisipasi Polres Lombok Timur mencegah hal-hal yang tidak diinginkan manakala situasi unjuk rasa berjalan tidak kondusif.
Tapi di lain sisi, upaya positif dan inovatif itu menjadi kurang etis dan tidak elok manakala dikembalikan kepada tugas pokok dan peran seorang Ulama/Tuan guru, yang seyogyanya memberikan pencerahan dan menanamkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, bukan mengawal aksi unjuk rasa, yang merupakan domain dari Satuan Polisi Pamong Praja ataupun Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya.
Penulis nilai, di sinilah kita harus meletakkan nilai moderasi yang diajarkan Islam kepada kita semua, dengan tetap Positif Thingking terhadap fenomena hari ini.
Keberpihakan kiyai atau Tuan Guru dalam mengawal aksi unjuk rasa harus disikapi dengan arif dan bijaksana, pun juga upaya Polres Lombok Timur melibatkan kiyai/Tuan Guru dalam momen-momen seperti itu agaknya harus di kurangi intensitasnya, sebab ada hal yang sangat penting yang harus di perjuangkan oleh para Tuan Guru kita, tidak hanya mengawal Aksi unjuk rasa.
Misalnya memberikan edukasi bahaya narkoba, kemudian pernikahan dini, ataupun kegiatan-kegiatan sosial yang sifatnya membangun kemandirian berbangsa dan bernegara.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis berpesan, bahwa Tugas Kiyai/Tuan Guru sangat berat, sebab ia menyangkut hajat hidup orang banyak di dunia dan akhirat, janganlah diciderai dan dikerdilkan dengan ikut berpartisipasi mengawal aksi unjuk rasa. Toh juga yang unjuk rasa itu adalah saudara seiman dan setanah air dengan kita.