Aksi Demonstrasi yang dilakukan Masyarakat Desa Mamben Daya di depan Kantor Desa |
Lombok Timur, Selaparangnews.com - Istilah Aksi 212 barangkali sudah cukup familiar di benak masyarakat Indonesia. Gerakan demonstrasi umat islam itu dikenal dengan sebutan Aksi 212 lantaran dilakukan pada tanggal 2 Desember.
Penggunaan istilah aksi 212 rupanya tidak hanya terjadi di Ibu Kota Jakarta. Di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga ada aksi yang sama, yang dilakukan oleh ratusan warga Desa Mamben Daya, Kecamatan Wanasaba, pada Kamis 2 Desember 2021.
Aksi Demo 212 versi Desa Mamben Daya ini dilakukan untuk menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Desa yang tidak melibatkan masyarakat dan tokoh agama setempat dalam proses pembangunan masjid milik salah satu kelompok yang ada di sana.
Sebagaimana dijelaskan Asdarudin, selaku Koordinator Lapangan (Korlap) aksi. Katanya, aksi yang dilakukan masyarakat Mamben Daya itu merupakan langkah terakhir yang diambil setelah upaya-upaya persuasif tak diindahkan oleh Pemerintah Desa.
Dia menceritakan bahwa jauh-jauh hari pihaknya sudah mencoba membicarakan hal itu dengan Pemerintah Desa, terutama Kepala Desa, namun tak mendapat sambutan yang baik. Sehingga, pada tanggal 11 November lalu, pihaknya berinisiatif untuk melakukan musyawarah dengan para tokoh dan juga pihak Desa.
"Kami mengundang Ketua BPD beserta anggotanya, dan juga Kepala Desa, tapi yang sangat disayangkan waktu itu Kepala Desa tidak hadir secara langsung," ujarnya. Kamis, 02/12/2021.
Karena itu, lanjut Asdarudin, pihaknya langsung membentuk tim penolakan pembangunan Masjid yang diduga milik kelompok Wahabi itu. Tim ini kemudian, terangnya, sepakat untuk mendesak BPD untuk mengambil tindakan, sehingga BPD waktu itu langsung bersurat ke Kepala Desa untuk mengadakan rapat atau musyawarah di rumah Kepala Desa sendiri.
"Hasil rapat waktu itu disepakati bahwa pihak Desa akan memfasilitasi musyawarah bersama para tokoh agama dan masyarakat Mamben Daya terkait pembangunan masjid tersebut," paparnya.
Akan tetapi, kata Asdarudin, tanpa alasan yang jelas, kesepakatan untuk bermusyawarah itu tiba-tiba dibatalkan secara sepihak oleh Kepala Desa.
"Inilah yang mendorong tim penolakan untuk mengumpulkan para tokoh untuk meminta tanda tangan mereka untuk menyatakan sikap terkait pembangunan masjid Wahabi itu," ucapnya seraya menjelaskan bahwa surat pernyataan sikap itu ditandatangani oleh 11 tokoh agama se Desa Mamben Daya. "Satu kadus satu tokoh," imbuhnya.
Dan yang lebih menjengkelkan, kata dia, pernyataan sikap dari para tokoh itu tidak digubris Kepala Desa, sehingga pihaknya mencoba untuk memviralkannya di Media Sosial (Medsos) barangkali mendapatkan respon dari Kepala Desa.
Tapi, lanjutnya, hal itupun tidak direspon sehingga opsi terakhir yang ditempuh masyarakat ialah dengan menggelar Aksi 2 Desember (212) di dua lokasi berbeda, yakni di tempat pembangunan masjid tersebut dan di Kantor Kepala Desa Mamben Daya.
"Alhamdulillah, aksi kita ini membuahkan hasil, Kepala Desa bersedia membuat surat pernyataan bahwa dirinya akan bertanggungjawab terkait pembangunan masjid tersebut, dan bersedia dituntut berdasarkan hukum yang berlaku apabila tidak melaksanakannya," ucapnya.
Alasan krusial yang membuat masyarakat Mamben Daya marah dengan kegiatan assunnah dalam membangun masjid itu, jelas Asdarudin, ialah karena pihak assunnah tidak pernah bermusyawarah dengan tokoh agama setempat.
Seharusnya, kata dia, sebagai kelompok pendatang yang membawa ajaran Islam di Desa Mamben Daya perlu untuk menjalin silaturahim dengan tokoh-tokoh yang ada di Desa tersebut, untuk menghindari terjadinya miskomunikasi atau konflik di kemudian hari.
"Karena itulah, kami mencium adanya sesuatu yang tidak baik dari pembangunan tempat ibadah inj," sambungnya.
Pasalnya, kata dia, kalau memang yang dibawa itu adalah ajaran Islam, tentu harus permisi dulu jika ingin membangun rumah ibadah di tempat orang lain. Menurutnya, cara seperti itu sangat tidak sopan dan tidak berakhlaq, sebagaimana diajarkan Nabi.
Sebenarnya, lanjut Asdarudin, silaturahim itu sangat diharapkan oleh tokoh agama Mamben Daya untuk menghindari adanya konflik di kemudian hari, mengingat kelompok yang hendak membangun masjid ini adalah kelompok yang dianggap tertutup, enggan berbaur dengan kelompok lain yang berbeda.
"Kalau mereka izin, mungkin satu hal yang akan kami minta, yaitu meminta supaya Masjid itu kita bangun dan kita digunakan bersama-sama untuk menghindari sikap tertutup satu sama lain," sambungnya.
Sementara itu, Kepala Desa Mamben Daya, Ridwan mengakui bahwa langkahnya yang tidak melibatkan tokoh agama dan masyarakat dalam proses pembangunan masjid tersebut merupakan kesalahannya sendiri.
"Mungkin ini merupakan kekurangan kami sebagai Pemerintah Desa karena itu kami minta Maaf," ucapnya.
Terkait surat pernyataan yang dibuatnya itu, Ia membenarkannya dan bersedia melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan dalam surat pernyataan tersebut. (Yns)