Penulis: Ust. Ahmad Fatoni * |
Opini, Selaparangnews.com - Berdiskusi dengan ayahanda TGH Ismail Thohir Selalu mengasikkan, meskipun tak jarang pemikiran beliau out the box dengan pemikiran umum masyarakat. Tidak jarang, buah pemikiran beliau terjawab 5-10 Tahun setelah dibincangkan.
Hari ini, beliau memiliki gagasan Pendidikan Pesantren Berbasis Masjid. Dimana Pesantren Thohir Yasin dibuatkan masjid khusus perempuan dan khusus laki-laki.
Beliau ingin pembelajaran terpisah, tidak membuat ruang belajar dalam bentuk kelas seperti umumnya tempat belajar siswa hari ini. Dimana ruang kelas lengkap LCD, pakai bangku Meja dan tidak jarang Ber-AC.
Untuk hari ini, konsep Masjid menjadi kelas tempat belajar memang agak aneh. Identik orang belajar di masjid atau musholla, merupakan pendidikan tidak formal sehingga di kepala kita sudah terbentuk, pendidikan resmi ya di sekolah dan ruang kelas, kalau tidak pakai kelas belajar berarti itu pembelajaran tidak resmi atau ilegal.
Dari asumsi di atas, sejatinya kita sudah terjebak pada pola pikir normatif. Sehingga pola pikir normatif ini hadir bukan berdasarkan pengetahuan, tapi pemantauan yang seiring perjalanan waktu kita anggap sebagai sumber pengetahuan dan kita permanenkan sebagai standar berpikir dan standar menilai.
Padahal, semua pakar pendidikan pasti sepakat kalau ruang kelas dengan penataan aksesoris kelas tidak lebih hanya media pembelajaran, bukan instrumen legal formal sebuah lembaga pendidikan. Kesadaran ruang kelas sebagai media pembelajaran ini, menjadikan Thohir Yasin berpikir out the box, dimana kita melihat fenomena baru di masyarakat.
Disaat kita mampu memperbanyak sarjana s1, s2 dan s3. Justru minat ke masjid tak sebesar gelar yang disandang. Termasuk banyak alumni pesantren yang takut naik ke masjid, sehingga anak kecil saja sudah menjadi momok menakutkan jika ada orang tuanya membawa dia ke masjid.
Sehingga Masjid tidak Ramah lagi, masjid lebih sering dikunci, masjid menjadi lokasi sakral yang akan didatangi untuk hari besar saja, atau kegiatan lima waktu tapi seolah khusus bagi para lansia karena tak bising dan bisa menjaga kebersihan.
Asumsi kami, hal ini terjadi karena sejak awal mengenal pendidikan kita tidak dikenalkan kalau masjid merupakan media pembelajaran yang digunakan Rasulullah saat awal menyebarkan islam, dimana masjid menjadi solusi, dimana masjid jadi tempat belajar dengan halaqah yang dipimpin langsung Rasulullah, dimana masjid sebagai tempat para sahabat bercerita pada Rasulullah akan kondisi ekonomi mereka, dimana masjid menjadi sentral kebijakan dan kaderisasi sahabat yang akan dikirim berdakwah.
Mari kembalikan peran Masjid, biar kita tidak ribut lagi, teriak dan demo karena merasa masjid kita kedatangan penceramah ekstrim, direbut barisan berjenggot ahli bid’ah, karena masjid kedatangan jamaah LPG dan lain sebagainya. Sedangkan yang teriak dan menolak tidak pernah naik ke masjid, sedangkan yang ditolak malah menjadikan masjid jiwa raganya.
Maka, naik ke masjid harus dilatih, harus dimanage, harus dimulai dengan mengembalikan dan mengenalkan masjid sebagai wajah baru media pendidikan islam ke pesantren. (SN)
*Penulis adalah Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern (MDSM) Pondok Pesantren Thohir Yasin Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur