Ritual bubur beaq warga Songak |
Tokoh Budaya Songak Murdiyah menjelaskan, ritus merupakan warisan nenek moyang warga setempat. Yang lahir dari kisah perjalanan Nabi dalam ajaran islam. Pelaksanaannya berpusat di Masigit Bengan (masjid tua).
"Ritual ini dilaksanakan setiap bulan Safar pada tahun islam atau hijriyah," terang Murdiyah, Ahad (11/9)
Dikatakannya, ritus tersebut digelar lantaran keyakinan warga setempat. Bagi mereka yang lahir di bulan Safar, akan dihantui rasa gundah, khawatir, susah tidur, malas, serta emosi yang tak terkontrol.
Atas dasar itu, digelarnya ritual sebagai obat bagi yang lahir pada bulan itu. Sebab rasa pengah itu tak akan berakhir sebelum melaksanakan ritual tersebut.
Ritus ini, hanya berupa dzikir dan do'a di masigit bengan. Di lengkapi dengan sesangan, sanganan berupa bubur merah, serta air kembang setaman.
Pelaksanaan ritual bubur putik, terangnya, harus dilengkapi dengan sesangan dan sangan, yang merupakan rukun wajib di setiap pelaksaan ritual di Desa Tua tersebut.
Sanganan dalam ritual ini, berupa bubur berwarna merah yang terbuat dari beras, ketan, gula merah dan lainnya. Yang dilengkapi dengan air setaman, untuk di minum, basuh muka dan membasahi kepala.
Ritual ini, diisi dengan puji-pujian pada Allah sebagai penguasa tunggal. Dengan cara berdzikir, bershalawat, berdo'a sesuai dengan niatan.
"Nanti warga yang lahir di bulan ini diberikan makan bubur itu dan minum air, dan air itu dikasih ke," ujarnya
Dia menceritakan, dulu tradisi ini sempat hilang, di masigit bengan. Pelaksanaannya hanya di rumah-rumah warga. Tahun 2000 barulah ritus ini dilaksanakan kembali ketempat semula.
Dalam tradisi apa pun, bebernya, di Desa Songak, masjid tua menjadi titik sentral pelaksanaan ritual. Seperti maulid adat jleng (buat, red) minyak, Bejango, bubur Putiq, Bubur Beaq, neda, mangkat dan ritual yang lainnya.
"Sampai saat ini, masyakarat percaya sampai saat ini kepercayaan itu masih ada," ujarnya
Kasi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lotim, Khaliqi mengatakan, sesuai dengan Undang-Unang Nomor 5 tahun 2017, ada sepuluh pokok objek kebudayaan, salah satunya seperti ritual Bubur Beaq ini.
Lantaran itu ia mengaku mengapresiasi, kegiatan itu. Karena sebutnya ini bagian dari upaya menghargai sebagai ahli waris dari tokoh masa lalu.
"Kita telah banyak kehilangan jati diri dan identitas, dan adat luhur yang seharusnya sudah bisa dijalankan sesungguhnya," ucapnya
Kesemuanya, lanjutnya, diakibatkan oleh media sosial, dan pergaulan. Maka ini harus diantisipasi serta, harus dihidupkan kembali sesuai dengan karakter lokal Gumi Sasak.
"Jadi apa yang telah kita lakukan, yang sedang, maupun yang akan kita lakukan sudah diakui oleh Undang-Undang," terangnya
Menurutnya, bukti berupa peninggalan sejarah serta ritus paling banyak di Lotim. Namun hal itu kurang literasi, penulisan dan penceritaan. Buntutnya keberadaanya tak begitu diketahui seperti yang ada di Bali maupun jawa.
Untuk itu ia meminta agar situs dan ritus desa setempat untuk segera di tulis. Agar keberadaannya diketahui publik.
Berkenaan dengan itu, dirinya meminta kepada Pemerintah Desa (Pemdes) Songak, agar memfasilitasi.
"Karena bagaimana pun keinginan kalau tidak ada dukungan Pemdes tentu akan mengalami kesulitan, karena rekomendasi juru pelihara dari Pemdes," tandasnya. (SN)