Penulis: Ruli Andriansah* |
Catatan Memori
Awal tahun 2021, saya menginjakkan kaki ke Yogyakarta dalam agenda mempersiapkan administrasi masuk universitas. Saya bertemu untuk pertama kalinya dengan pengelola tempat wisata Sunriseland Lombok, Qori Bayyinaturrosyi.
Saat itu ia masih berstatus mahasiswa S2 jurusan Pariwisata UGM dan Sunsriseland masih berbentuk embrio dalam benaknya. Kami berkenalan, bercerita mengenai dunia pariwisata, lika-liku, dan fenomena belakangan ini di Lombok, lebih tepatnya saya yang banyak memetik pengalaman darinya.
Mengetahui keinginan saya masuk di jurusan Antropologi, bang Qori menyemangati dan mengapresiasi pilihan itu, karena jarang sekali ia melihat semeton Lombok mengambil studi tersebut. Sesama putra daerah, tentu kami punya keinginan berkontribusi kepada kampung halaman—entah kapan, sekurang-kurangnya begitu.
Setelah saya masuk kampus, kami sesekali bertukar kabar melalui WhatsApps. Saya sibuk berkuliah dan ia telah kembali mencari peruntungan di Lombok. Terbilang pertemuan kami waktu itu sekadar kenal dan tidak ada tendensi untuk menyelami kehidupan pribadi satu sama lain.
Ada sejumlah alasan, antara lainnya jarak dan urgensi percakapan. Namun pada akhirnya, teknologi selalu menjembatani. Progres bang Qori dengan mudah saya saksikan dari status Whatapps, ia pemuda yang main tabrak, dalam artian tidak membiarkan kesempatan berlalu.
Ketika diliputi kegamangan karena tak jua menemukan iklim tongkrongan pelajar seperti di Jogja, ia mulai berjualan buku yang diberi nama Infinity Book: “hadir melengkapi rana pustakamu”.
Baginya, jika kita tidak menemukan sebuah tempat, maka hadirkanlah tempat itu. Aktivitasnya dalam berniaga buku kian aktif dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Ia berjejaring ke mahasiswa, guru, komunitas, universitas, dan masyarakat setempat. Hasil baiknya, anak muda di kampungnya mulai gemar membaca. Satu kunci, datangkanlah akses.
Tidak berpuas di satu bidang, Qori menggagas Sunriseland sebagai wisata pantai yang muncul dari keresahan. Sebelumnya, pantai ini dikelola oleh PEMDA dan mendekati terlantar. Qori dan kawan-kawan sekampungnya berinisiatif untuk menyelamatkan wahana bermain mereka semenjak kecil. Sunriseland (Labuhan Haji) ditargetkan menjadi pantai terbersih se-Lombok.
Dalam kondisi peralihan dan pemulihan ekonomi paska pandemi, tentu dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita kolektif tersebut. Saya cukup mengenal pantai itu, pesisir pertama yang saya jajaki pasirnya sewaktu SD. Ingatan saya agak kabur dan berlarian menggali memori, menyocokkan visualitas mata saya di masa sekarang. Masih sama, pantai yang ramai dan beraroma garam.
Kebetulan pada kesempatan pulang ke Lombok mengurus administrasi di sekolah lama, saya membuat janji untuk bertemu dengan Qori di calon lokasi Sunriseland. Ia merancang masterplan pembangunan, alih tangan pengelola, fasilitas yang diperlukan, sampai kerentanan sosial. Saya meminta penjelasan mengenai kerentanan sosial yang dimaksud.
Singkatnya begini, jika tempat wisata yang berbasis pengelolaan sumber daya manusia dibangun, maka latar belakang atau konteks masyarakat dalam ruang-tempat wisata harus diperhatikan. Pada tataran ini, nelayan. Ia berencana melibatkan para nelayan untuk berkontribusi dan membangun ruang interaktif dengan para wisatawan.
Nantinya, nelayan nelayan itu akan mendapatkan tupoksi—pada waktu tertentu—sehabis melaut atau ketika cuaca sedang tak bersahabat. Dikarenakan aktivitas pariwisata ini menimbulkan domino effect—baik risiko atau keuntungan. Jangan sampai para nelayan meninggalkan ruang kultural dan akar kepribadian mereka sejak lama, yaitu melaut. Takutnya, skema ruang wisata akan berpengaruh terhadap dimensi sosial lainnya.
“Bisa gawat,” ungkap Qori. Entah gawatnya karena apa, yang jelas begitu mengkhawatirkan, ia cukup berharap bahwa rencana baiknya ini tidak asal-asalan.
Saya mengambil beberapa gambar sebelum pantai tersebut bertransformasi atau dikelola oleh bang Qori dan kawan-kawan. Tak ada niatan apapun, hanya saja pandangan saya waktu itu cukup terguncang melihat kondisi pantai yang menyimpan sejarah panjang:
minggu setelah foto diambil (15 Mei, 2022), gerakan kolektif menata ulang pantai ini mulai digarap, bang Qori dan kawan-kawannya bekerja keras menghapus citra terlantar yang melekat. Pantai yang terletak di dusun Montong Meong, desa Labuhan Haji, kabupaten Lombok Timur terlahir kembali dengan wajah baru.
Sunriseland Lombok: You Can Get Everything In One Place
Destinasi wisata yang berbasis pemanfaatan komunitas ini cukup terampil dalam pengelolaan, dalam waktu yang terbilang singkat (5 Bulan) sudah memiliki beberapa potensi yang siap berlayar menuju para wisatawan. Pada konsepnya, Sunriseland Lombok memang diperuntukkan untuk semua kalangan.
Kebutuhan masyarakat akan berwisata disambut dengan baik oleh para pengelola, mereka menciptakan ruang nyaman dan aman dengan mengutamakan kebersihan sebagai nilai jual.
Melihat rentang waktu yang cukup singkat, peran sosial media sungguh vital. Akun instagram mereka (https://www.instagram.com sunriselandlombok/) meluncurkan postingan dalam waktu yang berdekatan. Linimasa sosmed yang padat dan konten variatif yang diproduksi tentu akan mengarahkan para pengikutnya kepada jebakan algoritma.
Unggahan pertama tertanggal 27 Mei 2022 (https://www.instagram.com/p/CeB5vfBhd6h/?igshid=YmMyMTA2M2Y=) sampai 21 Oktober 2022 telah menghasilkan 475 konten (https://www.instagram.com/reel/Cj85bF0ryTr/?igshid=YmMyMTA2M2Y=). Artinya, usaha branding mereka sukses di ruang maya, dan jika kita cermati seksama, feed instagram mereka tidak terlihat ekslusif. Sunrise Land Lombok terbuka untuk semua orang.
Dilansir dari Mayung.id (21 Juni, 2022), Sunriseland Lombok kian berfokus pada pemasaran utama, yaitu kebersihan. Tim Mayung.id mewancarai salah seorang pengelola SLL mengenai tantangan mereka dalam mengelola tempat wisata, khususnya sampah.
Bisa dibilang kesulitan utama mereka adalah mengedukasi para pedagang dan pengunjung agar tidak membuang sampah sembarangan. Hal ini dikarenakan sebelumnya masyarakat sudah terbiasa membuang sampah di pantai, baik itu pengunjung, pedagang, atau masyarakat lokal. Belum lagi jikalau sampah yang berasal dari laut kian menambah PR bagi pengelola. Usaha mereka (pengelola) untuk memberdayakan semua lini memang membutuhkan perjuangan rumit.
Lanjut Mayung.id., pada akhir pekan (19 Juni 2022), tim SLL mengatakan hampir 1.500 pengunjung meramaikan destinasi yang baru berbenah satu bulan ini. Untuk mengatasi membeludaknya wisatawan tersebut—paska pandemi—harus disertai dengan strategi yang matang. Maka dari itu Qori dan kawan kawan membuat berbagai program edukatif sekaligus rekreatif. Jenis atraksi wisata yang diusung terdiri dari pengembangan komunitas berkelanjutan, peningkatan literasi, konservasi, dan arena olahraga.
Pengembangan Komunitas
Aspek dari pariwisata berkelanjutan memang mengedepankan kesejahteraan masyarakat luas dan berusaha untuk merekatkan berbagai elemen, sebagai kekuatan utama—pariwisata terdefinisi secara kolektif sehingga menjadikannya lebih bermakna (MacCannell; Stronza, 1973; 2001).
Artinya, destinasi wisata dengan konsep komunitas dan berbasis local wisdom memiliki urgensi untuk menghimpun gagasan ruang wisata, misalnya tempat wisata adalah rumah belajar dan bermain. Dalam konteks ini, Sunriseland Lombok.
Para pengelola yang bekerja di sana sebagian besar adalah masyarakat setempat yang memiliki keresahan yang sama. Keinginan mereka untuk mengembalikan wahana bermain semenjak kecil menjadi modal sosial untuk merestorasi pantai menjadi tempat yang lebih layak.
Aktor (pengelola) paham betul mengenai kondisi lapangan, kebiasaan masyarakat, pasang surut laut, atau motif pengunjung. Bourdieu (1983) segala bentuk sumberdaya teraktualisasikan secara utuh melalui konsep kepemilikan bersama.
Dengan demikian, Sunriseland Lombok adalah manifestasi jaringan komunitas yang dirawat langsung oleh cita-cita kolektif dan pengetahuan lokal para pengelolanya. Selain itu, kehadiran Qori sebagai penggagas terbentuknya pengelola wisata ini juga menjadi penting—intelektual organik sebagai katalisator sosial (Gramsci, 2000); menghimpun massa dan berusaha menjawab kebutuhan kawan-kawannya serta masyarakat luas.
Agenda Sunriseland Lombok untuk mengembangkan wisata berbasis komunitas terdokumentasi rapi dalam akun instagram mereka (https://www.instagram.com/sunriselandlombok/), antara lainnya kolaborasi bersama instansi pendidikan, upacara bendera, bumi perkemahan, bakti sosial, dan bersih pantai.
Dengan demikian, Sunriseland Lombok memberikan ruang komunitas yang bisa digunakan untuk pengembangan dan eksplorasi. Kemudian, tempat wisata memiliki fungsi ganda yang dapat dilacak melalui ‘legasi akses’ dari pengelola, sehingga keadaan ruang bebas ini mengantarkan para pengunjung kepada kondisi ‘liminalitas’ yang mana pengunjung merasa terbebaskan dari struktur aturan kehidupan (Turner; 1969; Stronza, 2001). Barangkali, kecemasan para pengunjung akan terobati ketika berada di SLL.
Sebagaimana ciri pariwisata modern yang memotivasi para wisatawan untuk melarikan diri, bukan untuk pencarian sesuatu (ibid).
Aspek lain yang paling penting dari kesadaran pariwisata berkelanjutan ialah keaktifan aktor aktor yang berjejaring di dalamnya. Bagaimana kita memosisikan Sunsriseland Lombok sebagai arena wisata yang menerapkan langkah langkah praktis dan mengerucut pada rancangan kebijakan (Liu, 2003; Lansing & Vries, 2007).
Sebab, kebijakan program pariwisata berkelanjutan juga mengarahkan para pelaku wisata ketika menerapkan strategi pemasaran yang holistik. Artinya, pariwisata keberlanjutan mempertimbangkan semua aspek relevan yang menopang destinasi wisata; ekologis, sosiologi, ekonomi, dan keterlibatan masyarakat (Reid, 2003; Lansing & Vries, 2007).
Karena Sunriseland Lombok berangkat dari keresahan bersama, pembagian keuntungan juga terbingkai melalui solidaritas sosial yang alami. Selain itu, pengalaman otentik wisatawan ketika berkunjung merupakan hasil integrasi semua elemen yang dikemas secara aktif dan kreatif oleh pengelola.
Untuk lebih lanjut, penulis memerlukan analisa lebih mendalam mengenai dikotomi pengaturan depan-belakang arena wisata di Sunriseland Lombok (MacCannel, 1973).
Literasi dan Konservasi
Keunggulan utama dari Sunriseland Lombok adalah ruang edukasi dan berjejaring yang tidak terbatas. Qori dan kawan kawan memanfaatkan tanpa sisa potensi yang ada di Pantai tersebut.
Pengembangan wisata yang berbasis literasi dan konservasi penyu ini pada awalnya digagas secara tidak sengaja, ternyata wilayah pantai masuk ke dalam habitat penyu untuk bertelur. Dibimbing oleh tim dari UGM untuk melakukan pemetaan area konservasi lebih lanjut, Sunriseland semakin mengerahkan personilnya.
Dilansir pada 22 Juli 2022 dari laman https://ugm.ac.id/id/berita/22730-menggagas-konservasi-penyu-di-sunrise-land-lombok, dalam dua bulan beroperasi SLL telah memberikan nafas baru bagi keberlangsungan penyu yang kita ketahui terancam punah. Artinya, pengembangan pariwisata berkelanjutan di SLL menunjukkan keseriusan di berbagai lini serta pariwisata tidak hanya bernilai komersil akan tetapi mampu membawa pesan pesan lestari.
Mengingat Qori adalah orang yang bergerak di perniagaan Buku, SLL menjadi taman baca masyarakat yang sudah diidamkannya sejak lama. Ia bekerja sama dengan pnerbit LP3S. Kerjasama ini membuahkan hasil positiv, SLL diresmikan sebagai wisata literasi secara nasional oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M. A. P. (https://www.instagram.com/reel/ChOzWWgPkiL/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D), sekaligus bersamaan dengan peluncuran karya lengkap Bung Hatta di LP3S.
Kesimpulan
Meskipun Sunriseland Lombok baru muncul setelah pandemi dan awalnya ditelantarkan oleh PEMDA, namun keseriusan Qori dan kawan kawannya semakin mendapatkan titik terangnya. Kekuatan kolektif dengan memanfaatkan berbagai potensi, dapat memberikan kelayakan pakai terhadap destinasi wisata.
Selain itu, daya tahan sebuah tempat wisata akan bergantung pada aktor aktor yang bergerak di dalamnya. Bagaimana mereka melakukan edukasi, berjejaring, dan melihat kemungkinan—ancaman atau peluang—sebagai moda baru memperbaharui kebijakan dan langkah praktis di dunia pariwisata.
Daftar pustaka
Bourdieu, Pierre [1983](1986) “The Forms of Capital”, dalam J. Richardson, ed. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT: Greenwood Press.
Gramsci, A., Hoare, Q., Nowell-Smith, G., & Puspitorini, I. (2000). Sejarah Dan budaya. Yogyakarta: Narasi
Lansing, P., & De Vries, P. (2007). Sustainable Tourism: Ethical Alternative or Marketing Ploy? Journal of Business Ethics, 72(1), 77–85. http://www.jstor.org/stable/25075360
MacCannell, D. (1973). Staged Authenticity: Arrangements of Social Space in Tourist Settings. American Journal of Sociology, 79(3), 589–603. http://www.jstor.org/stable/2776259
Menggagas Konservasi Penyu Di sunrise land Lombok. (n.d.). Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/22730-menggagas-konservasi-penyu-di-sunrise-land-lombok
Stronza, A. (2001). Anthropology of Tourism: Forging New Ground for Ecotourism and Other Alternatives. Annual Review of Anthropology, 30, 261–283. http://www.jstor.org/stable/3069217
Sunrise land Lombok: Langkah Sukses Penjenamaan Destinasi Wisata. (2022, June 21). Mayung.id. https://mayung.id/sunrise-land-lombok-langkah-sukses-penjenamaan-destinasi-wisata/
SunriselandLombok (2022). https://www.instagram.com/sunriselandlombok/