Suriadi, S.Sy, ME, Ketua Panwaslu Kecamatan Pringgabaya |
OPINI - Apakah Anda pernah mendengar kata Coklit? Kira-kira gambaran apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendengar kata Coklit itu? Ya Benar, Coklit merupakan sebuah istilah dalam proses pendataan warga untuk Pemilu 2024. Ia merupakan singkatan dari kata Pencocokan dan Penelitian yang dilakukan oleh Petugas. Adapun Petugas yang melakukan proses Coklit itu disebut dengan Pantarlih yang merupakan singkat dari Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. Pantarlih ini diseleksi, dan dilantik oleh PPS atas nama KPU.
Salah satu tahapan Pemilu bernama Coklit ini, pada dasarnya diharapkan sebagai instrument fundamental untuk memperbaiki data warga yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2024 yang akan datang, agar Daftar Pemilih menjadi valid dan kredibel. Karena itulah, Pantarlih mendatangi warga secara langsung door to door atau dari pintu ke pintu untuk melakukan Coklit.
Sejak awal Penulis harus sampaikan bahwa penulis tidak akan menguraikan data pemilih yang sedang berproses di level PPS, PPK, maupun KPU. Di sini penulis akan mencoba sedikit menguraikan catatan lapangan sependek temuan penulis sendiri dalam melakukan pengawasan, sehingga dari catatan-catatan yang terserak dan sedikit ini, diharapkan ada upaya perbaikan yang bisa dilakukan di kemudian hari.
Mungkin sebagian kita masih bertanya apa pentingnya proses coklit ini, dan kenapa harus awasi. Menurut penulis, apa yang terjadi di kemudian hari adalah cerminan dari apa yang kita lakukan hari ini: jika proses coklit tidak serius, tidak totalitas dan unprosedural, maka tentu data yang dihasilkan tidak akan kredibel, tidak valid, bahkan tidak bisa dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat.
Mengapa dunia dan akhirat? Menurut penulis, apa yang dilakukan oleh pantarlih saat ini, akan menentukan calon-calon pemimpin masa depan, sebab data coklit hari ini adalah rujukan untuk data Pemilu dan Pilkada mendatang: jika data saat ini bermasalah, maka bisa dipastikan hasilnya pun bermasalah.
Sebagai contoh, jika data orang meninggal tidak diberikan tanda oleh pantarlih, atau orang yang berubah status dari warga sipil menjadi TNI-Polri atau sebaliknya, tentu data ini tidak akan sinkron dengan data awal, baik manual maupun yang E-Coklit. Akan ada warga yang masuk data tapi sebenarnya tidak punya hak pilih, dan seterusnya dan sebagainya.
Demikian dengan ragam disabilitas, jika pantarlih tidak memberikan keterangan pada ragam disabilitas, tentu disabilitas tidak bisa mendapatkan perlakuan yang sama dengan warga lain. Contoh misalnya warga Tuna Netra, tentu perlakuannya tidak sama dengan Tuna Daksa, mereka semua tentu juga tidak sama perlakuannya dengan warga pada umumnya. Apa sebab? karena akan berkaitan erat dengan alat bantu yang perlu disiapkan penyelenggara di hari pencoblosan nanti.
Belum lagi soal warga yang menikah di bawah umur, tidak punya identitas, pindah atau masuk, dan sebagainya, semua segmen ini tentu butuh jalan keluar, agar mereka memilki hak pilih, tetap bisa menyalurkan hak pilihnya sebagai warga negara indonesia.
Sayangnya, berdasarkan fakta-fakta hasil pengawasan di lapangan, masih ada warga yang belum bisa didata atau dicoklit lantaran tidak adanya kelengkapan administrasi kependudukannya. Sebut saja Disabilitas, jika harus memiliki surat keterangan dokter jiwa untuk bisa dibuktikan sebagai warga yang disabilitas, maka bisa dikatakan mayoritas warga itu tidak bisa dicoklit sesuai kondisi mereka. Kenapa? Karena semuanya tidak memiliki surat keterangan terkait disabilitas mereka, sehingga ini menjadi dilema, meskipun dicoklit namun tetap tidak bisa dicantumkan disabilitasnya karena tidak ada surat keterangan tersebut sehingga pada akhirnya perlakuan di hari pemilihan nanti sama dengan warga lain, padahal kebutuhan mereka berbeda.
Kaitannya dengan tema tulisan ini, penulis berpendapat, tahapan coklit ini masih prematur, mulai dari proses coklitnya dan validitas data yang dihasilkan. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana anda mengecek coklit yang anda anggap prematur itu, sederhana saja, penulis melakukan pengawasan melekat pada pantarlih, lalu untuk mengecek validitas data, dilakukan Uji Petik di lapangan, dua pola pengawasan ini cukup kuat untuk melihat proses dan hasil coklit masih prematur.
Jika terus-terusan proses dan data seperti saat ini, besar kemungkinan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dihasilkan nanti tidak valid, jika data sumber sudah tidak valid, maka pintu-pintu manipulasi akan terbuka lebar, jika pintu manipulasi terbuka lebar, pemimpin bangsa yang dihasilkan kemungkinan tidak bertanggung jawab.
Oleh karenanya, penulis berharap, KPU seharusnya memiliki cara pandang yang fi’il Mudhori’, jangan hanya Fi'il Madhi, sehingga perubahan-perubahan data bisa diprediksi dan diberikan jalan keluar.
Tulisan ini masih seputar coklit, belum lagi persoalan pemilih yang menetap di tempat hiburan, pemilih yang menetap di perusahaan perikanan, di kawasan pertambangan, maupun di areal perdagangan lintas daerah, belum juga soal jumlah pemilih yang melebihi kapasitas di tiap TPS. InsyaAllah di lain kesempatan penulis akan uraikan.
Menutup tulisan ini, mungkin tidak salah kiranya penulis menyampaikan bahwa Tugas Utama dari Bawaslu dan Jajarannya sampai level TPS adalah menjaga Hak pilih, dimana hal ini tertuang dalam salah satu bait Mars Bawaslu, sehingga proses pengawasan pun menjadi sesuatu yang wajib, sebagai dalam kaidah fiqh "Ma La Yatimmul Wajib Illa Bihi Fahuwa Wajib"