Notification

×

Iklan

Iklan

Mari Menjadi Cahaya

Wednesday, October 11, 2023 | October 11, 2023 WIB Last Updated 2023-10-14T03:45:22Z

Gambar Ilustrasi

 
Apakah Anda pernah melihat lukisan "menghilangnya bintang- bintang? Saya pernah melihatnya kemarin malam. Kalau tidak salah. ada di sebuah acara TV. Tapi saya lupa ada di chanel apa dan pada acara apa lukisan fenomenal itu ditayangkan. Yang masih saya ingat adalah, pameran itu ada di sebuah acara komedi. Makanya, ketika hostnya menunjukan dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan lukisan "menghilangnya bintang-bintang" pemirsa yang ada di studio (dan mungkin juga di rumah) tertawa lepas terpingkal-pingkal Tidak menutup kemungkinan adanya penonton yang tertawa lepas sampai terkentut-kentut dan batuk-batuk waktu itu. Saya sendiri sampai memegang perut. Kenapa? Karena, yang dimaksud dengan lukisan "menghilangnya bintang-bintang" adalah sebuah screen berwarna hitam pekat.

Di sinilah saya takjub dan heran pada mereka. Mereka, para komedian itu, selalu punya cara dan ide-ide gila untuk membuat kita tertawa. Tapi, setelah beberapa menit berlalu saya terdiam, saya menangkap semacam ada kesamaan antara lukisan lucu itu dengan kehidupan. Maksudnya? 

Begini, ketika mentari berangsur-angsur sirna di akhir senja, sementara rembulan masih tak kunjung sabit dan purnama, apa yang terjadi? Ya! Langit akan pekat dan bumi menjadi gelap. Satu-satunya sumber cahaya Bumi yang tersisa dari langit adalah bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. jika para bintang juga menghilang, maka gelaplah kehidupan kita. Bintang, Bulan dan Matahari adalah simbol cahaya. Sementara langit adalah cakrawala batin kita. Jika engkau memejamkan mata lahirmu, maka mata batinmu akan terbuka dan engkau bisa menyaksikan hamparan jagat raya yang luas tanpa batas. Bagaimana jika Bintang, Bulan dan Matahari yang ada dalam horizon jiwa kita yang lenyap dan menghilang, seperti: rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan, misalnya? 

Kita boleh saja berjalan santai dengan langkah gagah dan jumawa di bawah terangnya lampu-lampu jalanan yang menyilaukan mata. Tapi, lampu jalanan tidak lebih dari sekedar cahaya bagi mata lahir. Karena memang mata lahir tidak akan berarti apa-apa dalam kegelapan. Dan bahkan, cahaya yang hanya memberi terang pada mata lahir, hanya akan mempermudah kita mencari jalan yang paling dekat melakukan penyimpangan. Artinya, semua pencapaian fisik umat manusia hanya akan menjadi ancaman bagi kehidupan, apabila cahaya yang di dalam diri kita redup atau padam sama sekali.

Karena itulah, jangan biarkan hatimu seperti lukisan menghilangnya bintang-bintang. Bila perlu, bangunlah lukisan Matahari dan Bulan menyertainya. Ketika malam telah tiba dan purnama enggan menyapa kita, engkau punya hamparan bintang- bintang yang setia memberi cahaya. Jika engkau naik satu langkah, memeluk erat satu bintang saja dan lalu menyatu dengannya, engkau akan menjadi cahaya. Dan saat itu juga engkau bisa menjadi sumber cahaya bagi dunia.

Bagaimanakah caranya? Sederhana saja, jika engkau belum bisa berbuat baik dan benar dalam kehidupan, janganlah menghalang-halangi orang untuk berbuat baik dan benar. Jika engkau belum bisa jujur dan dewasa, janganlah berlaku bohong dan dusta. Pun juga jika engkau belum mampu menjadi sumber cahaya bagi banyak orang, janganlah engkau menjadi gerhana bagi purnama. Dan seterusnya dan sebagainya.

Akan tetapi, ada hal yang perlu kau tahu sebelumnya, bahwa sikap-sikap bijak semacam itu adalah akibat atau hasil. Hanya orang- orang yang telah tercerahkan yang bisa sampai pada prinsip hidup semacam itu. Pertanyaan kritis yang perlu kau lemparkan adalah, bagaimana menjadi pribadi yang tercerahkan? Saya tidak punya jawaban lain yang lebih baik selain kata Filsafat dan Tasawuf. 

Maksud saya adalah, belajar (ber) filsafat dan (ber) tasawuf. Mengapa harus? Karena, kedua hal itulah yang akan membantu kita menata diri, menemani kita menyelami ceruk-ceruk kehidupan yang dalam dan sepi, sampai kita benar-benar mengerti bahwa kegelapan yang kita saksikan dalam ceruk gua kehidupan adalah dampak dari ketiadaan cahaya. Filsafat akan menata dan menjadi cahaya bagi kepala kita, sementara Tasawuf akan merapikan isi hati dan sikap kita. 

Karena memang, seperti yang dikatakan Guru kami, Kiyai Ach. Dhofir Zuhry, dari seangkasa persoalan yang kita temui dalam kehidupan, muaranya ada di dua tempat yaitu di kepala dan di dada kita. Jika kedua tempat ini bercahaya, ditata dengan baik dan benar, maka persoalan apa lagi yang bisa melemahkan kita? Bukankah kita adalah pemimpin di muka bumi, makhluk terbaik yang pernah Tuhan ciptakan?

Kau tahu mengapa langit gelap? Itu karena ketiadaan cahaya. Kau tahu mengapa dunia menjadi semakin kejam dan menyeramkan? Itu semua karena cahaya dalam hati manusia sudah memudar dan bahkan padam sama sekali. Kita boleh saja hidup di zaman global yang serba canggih dan instan. Tapi, cobalah sesekali main-main ke negara- negara termiskin di dunia. Apa yang kau lihat? Ya! Kesenjangan dan perbedaan. Negara yang satu kaya dan yang lain miskin. Masyarakat yang satu sejahtera, masyarakat yang lain menderita. 

Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah kita sudah melewati abad perubahan, pencerahan dan pembaharuan? Satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan adalah, karena ketiadaan cahaya pada hati sebagian (besar) manusia. Apa buktinya? Bukankah engkau bisa menyaksikan betapa manusia menjadi semakin egois, individualis dan menghalalkan segala cara untuk menjadi penguasa di dunia. Menjegal kawan seiring, menggunting dalam lipatan, saling sikut dan sikat, adalah budaya modern yang sudah dianggap biasa. 

Coba perhatikan, sudut mana di dunia ini yang tidak bernuansa semacam itu? Dalam dunia kerja, politik, ekonomi, pendidikan dan bahkan keagamaan. Kiyai berebut jamaah, pengasuh pondok berebut santri, politisi melakukan pencitraan, pendidik gila hormat, penguasa tidak mau disalahkan. Pertanyaannya adalah: apa sebenarnya yang kita cari dari semua tingkah konyol ini? Mengapa kita lebih senang membuat manusia bangga, iri, takut, segan dan takjub kepada kita daripada berlomba- lomba menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan? Bukankah hidup ini tiada lain hanyalah sepenggal estafet perjalanan pulang menuju tempat kita yang sesungguhnya?

Tentu ada banyak hal yang menjadi faktor penyebab hadirnya fenomena-fenomena semacam itu. Salah satunya adalah rapuhnya falsafah hidup kita. Bisa jadi itu adalah akibat dari tidak tuntasnya dialog kita dengan keberadaan kita di dunia. Karena itulah, sangat penting untuk menata kembali diri kita, mengetahui orientasi hidup kota, dan menjadi manusia yang paripurna. 

Inilah yang ditawarkan deh Filsafat dan Tasawuf. Karena itulah, menjadi wajib mempelajari keduanya. Kabar baiknya adalah, engkau tidak perlu menghabiskan banyak uang, dengan masuk ke perguruan tinggi bergengsi hanya untuk mendapatkan semua itu. Syarat utamanya cuma satu, mau atau udak! Berkomitmen atau tidak? Itu saja. Jika engkau mau dan bersungguh-sungguh, berarti engkau sudah menapaki satu langkah menuju cahaya dan semoga menjadi cahaya.


*Penulis adalah  Muhammad Yunus, Pemred Selaparangnews.com. Tulisan ini bersama dua tulisan lainnya turut meramaikan kumpulan tulisan para santri Luhurian angkatan 2017 yang dirangkum dalam buku Catatan Lucu Para Filsuf Palsu. Diterbitkan tahun 2023 sebagai kado hari jadi pondok yang ke 12 tahun. 

×
Berita Terbaru Update