Penulis: Husnuddu'at, Mahasiswa Semester 7 IAIH Pancor |
OPINI - Di antara kawasan kegiatan manusia yang sering ditandai oleh iklim panas adalah kawasan politik yang selalu berkaitan dengan masalah kekuasaan. Sistem kekuasaan yang terlepas dari bingkai moral cenderung merusak dan menghalalkan berbagai cara, sebab nafsu manusia untuk berkuasa atau mempertahankan kekuasaan nyaris tanpa batas. Bila perlu seorang penguasa akan berbuat apa saja, terpuji atau tercela demi mendapatkan kekuasaan.
Setiap memasuki tahun politik suasananya sudah barangkali terasa panas, terlihat dari para politisi yang terdaftar pada Pemilu tahun 2024 sudah mulai bergerak melakukan safari politik mereka. Mereka berkunjung ke daerah-daerah terpencil, kampung-kampung di pinggiran desa, menebar janji manis politik dan mencari muka, tujuannya tiada lain adalah menggaet suara dari akar rumput.
Seperti biasa, kampung-kampung itu ramai dikunjungi dan selalu mendapatkan perhatian ketika musim pemilu, tetapi lepas itu nasibnya mungkin tak tahu entah bagaimana ke depan, “kacang lupa kulitnya” barangkali cocok untuk menggambarkan keadaan setelah itu.
Bukan hanya di dunia nyata, tetapi dunia maya pun ikut dipanaskan dengan banyaknya para calon politisi menampilkan gimmick dan pencitraan, hal ini mereka lakukan untuk mendapatkan nama baik sebagi figur yang layak dijadikan sebagai pemimpin untuk bangsa ini kedepannya.
Kembali ke dunia nyata, setiap pergelaran pesta demokrasi rasanya tidak ramai kalau kita tidak menemukan baliho-baliho berbagai ukuran menjamur dan menjadi penunggu setia pepohonan di sepanjang jalan. Setelah perhelatan selesai, baliho-baliho itu kemudian dialihfungsikan menjadi alas tikar atau menjadi penghalang sinar matahari di warung-warung makan pinggir jalan oleh warga yang sedikit kreatif.
Di antara semua cara yang mereka lakukan masih dirasa kurang mendapatkan simpati atau dukungan dari bnyak orang. Langkah atau jalan ninja yang biasanya mereka lakukan dan sudah lazim di kalangan para politisi terutama yang maju menjadi capres dan cawapres adalah sowan atau matur ke para tokoh agama. Sowan dari kyai satu ke kyai yang lainnya, dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Niatnya sudah pasti meminta restu, dan doa supaya bisa memenangkan kontestasi pemilu yang sedang berlangsung.
Di samping itu, strategi ini dirasa sangat tepat oleh para politisi, karena kita sudah tahu bahwa para kyai, para ulama, memiliki pengikut atau jamaah yang banyak sehingga mereka bisa konversi menjadi basis dukungan yang sudah terjamin kekompakannya bahkan hingga ke kotak suara besoknya.
Sudah menjadi rahasia umum ketika para calon politisi di setiap kunjungan mereka di berbagai daerah, yang paling pertama kali mereka lakukan adalah sowan ke para kyai di setiap pondok pesantren. Dan sekarang para kyai juga sudah mahir dalam menyelipkan “kampanye” pada setiap kegiatan pengajian mereka. Mengajak jamaahnya untuk memilih Paslon X dan Caleg Y di tengah-tengah ceramah, dan di antara doa-doa. Sehingga para politisi itu merasa percaya diri akan bisa terpilih meskipun belum pencoblosan, dikarenakan mereka sudah berhasil mendapatkan restu dari kyai fulan yang memiliki jamaah ribuan bahkan sekian juta.
Terlihat di banyak kesempatan para kyai juga sudah terang-terangan memberikan atau mendeklarasikan dukungannya terahadap paslon tertentu, biasanya dilakukan lewat ceramah, pengajian, atau acara sholawatan akbar dibungkus nasionalisme. Yang menghadirkan tokoh agama dan tak sedikit mengangkat mereka menjadi bagian dari tim pemenangan. Semua itu terjadi mungkin sudah adanya transaksi kesepakatan antara dua belah pihak tadi, dengan iming-iming bantuan akan mengalir ke lembaga yang dikelola oleh sang kyai atau ada jabatan strategis yang telah dijanjikan ketika dukungannya terpilih nantinya.
Sebagai seorang yang pernah hidup dan menuntut ilmu di pesantren, tentunya sedikit tahu tentang seluk-beluk dan gaya hidup, cara berpikir yang dianut atau diajarkan oleh seorang kyai, jika sudah mengatakan A maka murid atau jamaah harus patuh dan manut satu dalam barisan tanpa adanya penolakan atau pemberontakan.
Meskipun begitu ada saja segelintir orang yang membelot namun tidak berani terang-terangan, disangkanya su’ul adab. Tetap saja kebanyakan yang patuh dikarenakan tidak tahu apa-apa.
Kepatuhan dan tidak banyak pikir panjang mereka inilah yang dimanfaatkan sebagai peluang emas oleh para politisi yang tiba-tiba mendekat ke para kyai di tahun politik begini. Mereka para calon politisi itu berpikir bahwa, daripada buang-buang tenaga dan waktu untuk kampanye bagi-bagi kaos dan susu tetapi belum tentu dipilih, mendingan membuat acara yang mengundang simpati banyak kalangan dengan menghadirkan para tokoh agama seperti menyelenggarakan acara shalawatan sekaligus pengajian, bila perlu mendatangkan juru kampanye yang bertitel kyai atau ustadz yang ketika ngomong didengarkan dan dipatuhi, jelas kampanye model ini lebih efektif.
Di sini yang ingin disampaikan bahwa, ketika melihat situasi dan kondisi yang terjadi sekarang. Sudah seharusnya para kyai atau ulama menunjukan sikap ketidakberpihakan mereka terhadap paslon mana pun. Ini bukan berarti mereka harus golput, hanya saja mereka para kyai dan ulama ini yang memiliki pengaruh besar terhadap jamaah dan muridnya yang sudah barangkali taat terhadap instruksi kyai mereka, semestinya mereka bersikap jual mahal terhadap para politisi yang tiba-tiba mau datang, entah itu niat mereka mau minta restu atau doa, yang pasti ada saja niat terselubung mereka yang sarat dengan kepentingan.
Sangat disayangkan ketika ada kyai atau ulama yang terang-terangan mendukung sekaligus mendeklarasikan dirinya sebagai pimpinan pesantren dengan lantang mengatakan “saya pilih Anies, saya all in Prabowo, atau saya dukung Ganjar” lebih-lebih yang dikatakan dalam kampanye seperti mari pilih nomor urut sekian, insyaallah Indonesia akan sejahtera dan bla bla bla.
Semua orang berhak bersuara mendukung pilihannya masing-masing, termasuk kyai dan ulama. Hanya saja dengan pengaruh yang begitu besar, alangkah baiknya mereka menyembunyikan pilihan mereka di pemilu nanti. Jangan sampai terhanyut dengan janji-janji manis para politisi yang haus kekuasan, dan apalagi yang sering memakai jubah agama dalam kepentingan politik mereka. [ ]