Penulis: Ruli Andriansah |
OPINI - Saya melakukan kunjungan ke Wonokerto sebanyak dua kali, pertama bersama anak-anak dari kelas Antropologi Maritim dan yang kedua bersama tim survei penelitian lapangan. Pada kunjungan pertama yakni hari Jum’at tanggal 16 November 2023.Kami melaju pagi harinya dengan kereta dari Stasiun Tugu Yogyakarta dan tiba di Stasiun Pekalongan tepat saat terik matahari menusuk ubun-ubun kami. Kurang lebihnya 5 jam perjalanan.
Selama proses pemetaan awal, kami dihadapkan dengan lanskap geografis dan morfologi desa-desa Wonokerto pesisir. Rumah-rumah penduduk terkubur setengahnya oleh tanah, lahan pertanian yang setengah surut, parit-parit beraroma garam, dan tambak-tambak yang sudah tidak beroperasi meski ada juga yang masih aktif. Itupun mayoritas ikan tambaknya adalah bandeng karena lebih tahan cuaca dan kondisi air tambak, sementara jumlah tambak udang vaname bisa dihitung jari.
Menurut penuturan warga dan berita yang diwartakan oleh BNPB (2/12/2022), banjir rob terakhir yang terparah di pekalongan sempat melanda tiga kecamatan, yaitu kecamatan Tirto, kecamatan Siwalan, dan kecamatan Wonokerto yang berdampak pada 1.272 KK atau sekitar 3.900 jiwa.
Kecamatan yang kami kunjungi ini memang langganan banjir, bahkan di balai desa tempat kami menginap, yaitu kantor desa Wonokerto Wetan sudah disediakan perahu karet khusus guna menanggapi banjir rob yang selalu menghantui setiap tahunnya. Karena daerah pantai utara Jawa merupakan kawasan pesisir di Indonesia yang rawan dengan bencana (Marfai & King, L., 2008b), utamanya banjir rob maka masyarakat setempat mesti siap siaga dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Dari berbagai cerita yang dituturkan oleh warga lokal, permukaan banjir bahkan pernah mencapai setengah dada ukuran pria dewasa. Belum lagi dengan masuknya musim hujan di penghujung tahun 2023 kian menambah kewaspadaan masyarakat. Bukan berarti tidak adanya tindakan siaga dari pemerintah kabupaten Pekalongan, bahkan jauh-jauh hari tepatnya tahun 2019, pemerintah kabupaten sudah membangun tanggul raksasa di kecamatan Wonokerto dan menutup aliran sungai Merican (Antara, 2019).
Meskipun demikian, tanggul itu juga sempat jebol karena gelombang pasang laut (Antarajateng, 2023). Perubahan iklim merupakan penyebab utama naiknya permukaan air laut dan banjir rob yang mengakibatkan kerugian masyarakat pesisir Wonokerto. Baik kerugian material maupun non-material. Mereka yang awalnya berprofesi sebagai petani tambak ataupun petani padi seperti di desa Tratebang dan Semut (dua desa yang kami sambangi), harus memikirkan alternatif pekerjaan guna tetap bertahan pada situasi paska rob. Sebab kenyataannya, dengan sebagian besar tambak yang belum lagi pulih membuat mata pencaharian pada sektor penangkapan ikan jadi tersendat, termasuk bagi nelayan tradisional yang amat bergantung pada musim. Mengenai hal itu pun hingga sekarang pemerintah belum juga menyediakan kompensasi kepada warga yang terdampak banjir rob (Gemilang, 2023).
Rob merebut segalanya. Jika mengikuti apa yang kami baca di kelas dan mencoba melaraskannya dengan temuan kami di lapangan, saya terpikir bagaimana cara masyarakat ini bertahan dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, bahkan bagi mereka yang keluarganya adalah nelayan. Apa yang mereka andalkan ketika anggota keluarga mereka pergi melaut 6 hingga 10 bulan? Ataupun bagi mereka yang nelayan tradisional meski masih melaut harian dan menemui anak-istri tetapi penghasilannya tidaklah seberapa.
Berangkat dari rasa keingintahuan tersebut, saya mencoba mengamati sekilas aktivitas perekonomian kecil masyarakat di desa-desa kecamatan Wonokerto, yakni apa bentuk ekonomi lain mereka dalam situasi seperti itu?
Ekonomi Tambal Sulam
Selama proses survei ke sudut perkampungan dan desa di kecamatan Wonokerto, kami menemukan aktivitas ekonomi alternatif masyarakat yang bertaraf kecil, dalam artian bisa dilakukan di samping pekerjaan utama atau dikerjakan oleh anggota keluarga yang lumrahnya mengurus sektor domestik, seperti ibu rumah tangga. Aktivitas ekonomi ini bisa disebut ekonomi tambal sulam. Artinya tidak langsung mengembalikan kondisi perekonomian masyarakat menjadi stabil, namun setidaknya bisa mengulur waktu dari ancaman-ancaman pemiskinan.
Hal itu juga dijelaskan oleh Mas Pujo ketika kami sedang duduk melingkar di beranda kantor desa Wonokerto Wetan dan mendengarkan cerita beliau terkait risetnya dahulu tahun 1990-an. Mengenai risetnya ada di buku Close To The Stone Far From The Thorn (2001; 2003), beliau membandingkannya dengan situasi hari ini. Setiap anggota keluarga mau tidak mau harus memiliki pekerjaan tambahan guna menyeimbangkan ekonomi keluarga agar tidak oleng.
Strategi ekonomi kecil yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini bermacan-macam bentuknya. Misalnya bagi keluarga petani menurut Scoones (1998) dalam Akmala & Wahyuni (2022), para petani mempunyai strategi nafkah rumah tangga yang dikelompokkan dalam 3 cara. Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian; kedua, strategi diversifikasi pertanian atau penganekaragaman jenis tanaman; dan ketiga, strategi migrasi.
Masyarakat yang mustahil lagi melakukan intensifikasi pertanian sebab lahannya terendam rob beralih menjadi buruh jahit atau konveksi di industri tekstil (ibid). Sebagai buruh jahit atau tekstil biasanya mereka dibayar harian ataupun borongan. Bayaran harian jelas lebih menguntungkan, karena mereka pada saat hari itu juga bisa menikmati upah jerih payahnya, berbeda dengan borongan yang mesti kejar target.
Selain menjadi pekerja upahan, beberapa dari mereka juga berternak dengan menyulap lahan tambak mati menjadi peternakan yang luas. Tidak banyak tetapi saya menemukannya di desa Pecakaran lengkap dengan pondokannya. Tambak-tambak itu menjadi area berternak itik. Jenis itik yang dibiakkan adalah itik tegal jika dilihat dari ciri-cirinya. Badannya menyerupai botol, bulu kecoklatan dengan totol-totol, leher ramping, dan ujung sayapnya yang terlihat menyatu dengan ekor.
Dibandingkan dengan ayam, itik memiliki daya tahan lebih baik terhadap penyakit dan cuaca (Roderberg, dkk., 2006). Selain itu jenis itik ini menghabiskan lebih banyak waktunya di air, maka cocoklah jika dipelihara di bekas tambak-tambak ikan di pesisir Wonokerto. Di samping pemberian pakan utama, itik juga bisa memakan ikan-ikan kecil, cacing, keong, dan hewan akuatik lainnya. Jenis itik ini tidak pilih-pilih soal makanan ditambah dengan kemampuan adaptasi yang bagus menjadi membuatnya populer di kalangan peternak (Lupita, Ismoyowati, & Sulistyawan, 2019).
Sementara berdasarkan capaian produk yang dihasilkan, itik dibagi menjadi tiga kategori; pedaging, petelur, dan ornamen (Greener, 2020). Selain kemudahan pakan dan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan, jenis itik tegal bisa dimanfaatkan daging serta telurnya (dwiguna) yang per-tahunnya bisa menghasilkan 200-250 butir (Lupita, Ismoyowati, & Sulistyawan, 2019). Terbilang menjanjikan apabila dikembangkan, tetapi dalam konteks Wonokerto, saya belum bertanya lebih lanjut kepada peternak itik terkait tantangan dan peluang mereka berternak di bekas area tambak.
Namun yang jelas berternak itik adalah opsi lain yang dilihat oleh masyarakat Wonokerto untuk keluar dari situasi kritis ketika akses mereka terhadap mata pencaharian di lapangan sudah tidak memungkinkan lagi.
Kawasan Wonokerto di area pinggir juga memiliki beberapa destinasi wisata yang dapat mendatangkan pundi-pundi ekonomi, salah satunya pantai Wonokerto. Sebagai tempat publik yang terletak di Wonokerto kulon, pantai ini dikelola oleh BUMDES (Badan Usaha Milik Desa). Mereka memberikan kesempatan kepada warga Wonokerto kulon dan sekitarnya untuk membuka lapak. Saat itu sudah sore hari waktu kami berkunjung ke pantai tersebut. Tidak terlalu ramai karena bukan hari libur. Biaya tarif masuk pantai Wonokerto 3000 rupiah saja, jika membawa kendaraan akan dikenai retribusi tambahan sebesar 2000 rupiah untuk sepeda motor dan 5000 rupiah untuk kendaraan roda empat. Biaya retribusi itu sudah mencakupi biaya pengelolaan sampah dan jaminan keamanan kawasan wisata.
Berdasarkan hasil wawancara saya (16/12/2023) kepada salah satu pengelola pantai, Pak Kris, ia menuturkan kalau sebagian besar yang berdagang di sini adalah istri-istri nelayan. Di sela wawancara, pak Kris juga menawarkan aneka minuman dan kesediaan waktunya untuk menjamu kami selama ia tidak sibuk. Ia juga bercerita bahwa kerap didatangi oleh mahasiswa seperti kami untuk penelitian, kerja magang, atau sekadar tanya-tanya “Jangan sungkan-sungkan kalau di sini. Saya juga orangnya suka diskusi”.
Pantai dibuka mulai pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore. Dalam rentang waktu itulah masyarakat mulai berjualan dan menyediakan jasanya. Keuntungan para pelapak berjualan per-hari kurang lebih 1 hingga 1,5 juta. Setiap tahunnya pelapak akan diwajibkan membayar retribusi lahan per-tahun, “Dulu modelnya beda, kami nariknya 2000 rupiah per-hari. Bukan per-tahun seperti sekarang” Selain itu juga, bagi para nelayan tradisional yang tidak melaut, mereka terkadang menyewakan perahunya untuk para pemancing. Sekali sewa 50 ribu rupiah. “Nah, itu juga pak Walabi kemarin menyewakan perahunya,” lanjut pak Kris sembari menyesap rokoknya.
Daya jual utama dari pantai itu adalah kesediaan ruang publik dan kenyamanan. Tidak ada yang berbeda dengan pantai-pantai lainnya, ataupun atraksi wisata yang bermacam-macam. Keunggulannya terletak di manajemen pantai, kebersihan dan keamanan yang terpenting. Maka pengunjung jadi nyaman dan tidak jera untuk balik berkunjung. Begitulah cita-cita pengelola saat membangun citra dari pantai Wonokerto. Fasilitas di sini juga cukup standar, ada kursi dan meja, MCK, dan taman pinus yang ditata oleh pengelola. Pantai ini juga mendapat hibah fasilitas berupa bangunan pusat informasi bagi pengunjung dari kementerian kelautan dan perikanan.
Sepenuturan pak Kris, pada musim libur sekolah dan musim pelantikan pramuka atau organisasi pencinta alam, pantai ini biasanya difungsikan menjadi bumi perkemahan. Sejauh ini memang digunakan untuk kegiatan komunitas; ibu-ibu senam. komunitas Vespa, pecinta dangdut, sobat mancing, dan sebagainya. Semua bisa memanfaatkan dan menggunakan area publik itu. Dengan banyaknya orang yang berkunjung, tentu secara tidak langsung akan berdampak pada perekonomian warga.
Sejauh ini pemanfaatan wilayah pesisir untuk kegiatan perekonomian kecil di Kecamatan Wonokerto memang berdagang, entah sekadar membuat warung kecil, kios kelontong, atau menjual nasi megono (nasi khas pekalongan) di emperan jalan.
Bagi pedagang-pedagang kecil ini, yang kebanyakan dilakoni oleh perempuan, mereka bertahan dengan perputaran modal yang tidak seberapa. Misalnya pada keluarga nelayan, apabila hasil jual tangkapan ikan suami mereka kurang dan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Maka istri-istri merekalah yang menambal kekurangan tersebut. Entah dari dagang atau melalui mekanisme hutang. Dan setidaknya, dari sirkulasi pemasukan kecil itu, keluarga nelayan dapat kembali melaut. Mereka, masyarakat pesisir dengan golongan berpendapatan rendah memang lebih rentan daripada masyarakat dengan berpendapatan dan memiliki lokasi tempat tinggal yang lebih tinggi (Yuwono dkk.; Maurizka & Adiwibowo; 2019; 2021). Kendati itu, tak ayal masyarakat pesisir Wonokerto juga memperkirakan masa depan mereka kedepannya. Sebab kenaikan permukaan air laut dan rob bisa datang kapan saja dan selalu membayangi mata mereka.
Strategi perekonomian masyarakat pesisir kecamatan Wonokerto ini bisa terbilang sementara. Umpamanya serupa bemper yang suatu saat bisa aus. Selain karena potensi Rob susulan tetapi juga faktor-faktor lainnya. Masyarakat sendiri masih dalam tahap pemulihan, baik secara material maupun akses ke lapangan pekerjaan utama, yaitu di sektor perikanan dan pertanian.
Adapun amatan awal dengan gaya ungkap catatan lapangan, bagi saya, masihlah butuh analisa data yang lebih mendalam. Ini hanya secuil dari apa yang sebenarnya terjadi. Laut semakin dekat, warga pesisir uring-uringan. Kita sebagai pewarta, jelas hanya bisa mengabarkan seterang-terangnya, setelah itu mestilah ada kerja kolaboratif terarah dari berbagai pihak.
Referensi
Akmala, T., & Wahyuni, E. S. (2023). Strategi Nafkah dan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Terdampak Banjir Rob: Livelihood Strategy and Welfare of Farmers’ Households affected by Tidal flood. Jurnal Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 7(1), 103–113. doi:10.29244/jskpm.v7i1.1008
Bnpb, I. T. (2022). Banjir rob Landa tiga kecamatan di Kabupaten Pekalongan. Retrieved December 16, 2023, from BNPB website: https://www.bnpb.go.id/berita/banjir-rob-landa-tiga-kecamatan-di-kabupaten-pekalongan
Gemilang, M. S. C. (2023, June 15). Perubahan iklim sebabkan banyak ‘bedol desa’ di Pantura, tapi kebijakan perlindungan warga belum tersedia. Retrieved December 14, 2023, from http://theconversation.com/perubahan-iklim-sebabkan-banyak-bedol-desa-di-pantura-tapi-kebijakan-perlindungan-warga-belum-tersedia-203407
Itik Tegal, Unggas Lokal Khas Indonesia. (2020, August 14). Retrieved December 16, 2023, from Greeners.Co website: https://www.greeners.co/flora-fauna/itik-tegal-unggas-lokal-khas-indonesia/
Kutnadi. (2019, October 15). Bangun tanggul tanggulangi rob, Sungai Mrican di Pekalongan ditutup. Retrieved December 14, 2023, from ANTARA website: https://www.antaranews.com/berita/1114182/bangun-tanggul-tanggulangi-rob-sungai-mrican-di-pekalongan-ditutup
Lupita, A., Ismoyowati, Ibnu Hari, S. (2019). PERBEDAAN PRODUKSI TELUR ITIK MAGELANG DAN TEGAL DI TINGKAT PETERNAK. Journal of Animal Science and Technology. Vol. 1, No. 3.
Marfai, M.A. dan King, L. 2008b. Potential Vulnerability Implications of Coastal Inundation Due to Sea Level Rise for The Coastal Zone of Semarang City, Indonesia. Environmental Geology, Vol. 54. Hal:1235-1245.
Maurizka, I. S., & Adiwibowo, S. (2021). STRATEGI ADAPTASI NELAYAN MENGHADAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM. Jurnal Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 5(4), 496–508. doi:10.29244/jskpm.v5i4.866
Roderberg, dkk., (2006). Walfare of Duck in Europen Husbandry System. Poultry Science. Vol 61(4). 633-647.
Scoones, I. (1998). Sustainable rural livelihood: a framework for analisys. IDS Working Paper (72),IDS, https://opendocs.ids.ac.uk/opendocs/handle/20.500.12413/339
Semedi, P. (2003). Close to the Stone, far from the Throne. The story of a Javanese fishing community, 1820s – 1990s. Yogyakarta: Benang Merah.
Susilo, E. (2023, June 16). Pemkot Pekalongan perbaiki tanggul jebol akibat gelombang pasang laut. Retrieved December 14, 2023, from ANTARA Jateng website: https://jateng.antaranews.com/berita/496857/pemkot-pekalongan-perbaiki-tanggul-jebol-akibat-gelombang-pasang-laut