Oleh: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos* |
OPINI, SELAPARANGNEWS.COM - Dalam konteks sosiologis, keluarga merupakan sistem sosial yang memiliki fungsi dan peran dalam kehidupan. Keluarga juga sebagai fondasi dasar di mana individu pertama kali belajar tentang tanggung jawab, cinta dan norma sosial. Dalam konteks HKI (Hukum Keluarga Islam), keluarga dapat dimaknai sebagai kelompok yang suci, di mana adanya ikatan antara suami, istri dan anak yang terjalin melalui proses pernikahan yang berlandaskan agama dan negara.
Keluarga yang sejatinya menjadi payung untuk berlindung dan berteduh, namun berubah menjadi tempat yang tak mengenakkan. Kehidupan keluarga yang awalnya berjalan harmonis seiring waktu mengalami perubahan menimbulkan konflik yang tak berkesudahan berakhir pada perceraian. Fenomena perpisahan bukanlah suatu hal yang tabu, kini fenomena perpisahan terjadi dimana-mana baik di lingkungan sekitar maupun dilingkungan publik figur.
Agama telah memberikan gambaran konsep yang jelas mengatur hubungan suami dan istri. Namun, realitas acap kali berseberangan dengan idealisme.
Faktor Perpisahan
Retaknya hubungan keluarga amatlah kompleks dan beragam. Dari dimensi HKI (Hukum Keluarga Islam) perpisahan/perceraian terjadinya karena alasan-alasan syar’i, seperti kekerasan dalam rumah tangga, ketidakharmonisan dalam rumah tangga, dan bahkan hilangnya rasa cinta antar suami istri.
Sementara dalam dimensi sosiologi, perpisahan dapat disebabkan oleh adanya perubahan nilai dan norma sosial masyarakat. Arus modernisasi dan globalisasi turut serta mempengaruhi cara pandang individu terhadap pernikahan. Tuntutan pekerjaan, tekanan ekonomi, maupun gaya hidup yang hedon turut memperburuk interaksi dalam keluarga.
Dalam banyak kasus public figur misalnya, kita dapat menelaah problematika keluarga Selvi Kitty dengan sang suami Rangga. Selvi Kityy mengakhiri biduk rumah tangganya dengan suaminya atas dasar sudah tidak adanya kecocokan dengan sang suami. Di satu sisi juga kesibukan Selvi Kitty yang turut serta maju di pemilihan legislatif Jawa Barat menjadi penyebab runtuhnya rumah tangga keduanya. Sang Suami merasa Selvi Kitty lebih sibuk di dunia politik daripada keluarga kecilnya kemudian sang suami merasa direndahkan oleh Selvi Kitty sehingga menimbulkan percekcokan yang berakhir pada perceraian.
Penulis berpandangan bahwa suami istri seharusnya saling mendukung satu dengan yang lain dalam semua aktivitas. Kalaupun dirasa ada yang kurang tepat, maka lakukanlah dialog dengan kepala dingin. Jangan sampai kemudian perceraian menjadi jalan satu-satunya jalan untuk mengakhiri bahtera yang suci.
Dalam Hukum Keluarga Islam, proses perceraian memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui oleh pasangan yang hendak bercerai. Pertama upaya mediasi untuk menyelesaikannya permasalahan yang ada dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Lalu, jika mediasi tidak membuahkan hasil, kedua pihak baik suami maupun istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan agama. Maka, dalam hal ini hukum Islam sangat menekankan pentingnya perlindungan hak kedua belah pihak, terutama Dalam hal nafkah dan hak asuh.
Walau proses hukum memberikan perlindungan, sering kali ada ketidakadilan yang dirasakan oleh salah satu pihak. Dalam hal ini, perempuan sering kali dalam posisi yang lebih rentan secara ekonomi dan sosial. Maka jelas bahwa meskipun hukum keluarga Islam memberikan pedoman yang jelas tetapi dalam implementasinya tidak sejalan.
Dampak Psikologis dan Sosial
Perceraian tidak saja terputusnya hubungan suami dan anak, tetapi juga melibatkan buah hati (anak). Anak-anak yang orang tuanya bercerai cenderung mengalami masalah emosional, seperti depresi, kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal dan mengalami depresi yang berat.
Perpisahan keluarga menyebabkan berubahnya struktur dalam keluarga. Masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap keluarga yang cerai. Belum lagi stigma sosial terhadap perceraian memperburuk kondisi seorang anak, anak kemudian teralienasi dari lingkungan sebayanya.
Perceraian dalam agama islam memang dibolehkan, namun bukan kemudian suatu hal yang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dan jelas. Dalam Al-Qur’an ayat 227 Allah Swt berfirman yang artinya “Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Sesungguhnya sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.” (HR Abu Dawud).
Perceraian memerlukan pemahaman baik dari sisi psikologis, hukum keluarga Islam dan sosiologis. Penting kemudian untuk diperhatikan bahwa perpisahan tidak saja tentang dua individu tetapi perpisahan telah menyebabkan putusnya hubungan dua keluarga besar. Perpisahan berimplikasi pula pada perubahan struktur sosial secara keseluruhan.
Sangat penting dalam keluarga mengedepankan dialog kemudian meminta pendapat dari para ahli, sehingga perceraian dapat dihindarkan. [ ]
*Penulis: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos | Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam UIN Mataram