![]() |
Oleh: Ahmad Sulthon Auliya* |
OPINI, SELAPARANGNEWS.COM - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah masalah sosial yang berdampak luas dan melibatkan berbagai aspek, termasuk fisik, emosional, dan ekonomi. Dalam Islam, KDRT sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang menekankan kasih sayang dan keadilan.
Al-Qur’an dan hadits memberikan pedoman untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan bebas dari kekerasan. Artikel ini akan membahas KDRT dari perspektif Islam dan psikologi, kemudian mengaitkannya dengan kasus-kasus aktual yang menegaskan pentingnya penanganan serius terhadap masalah ini.
Pandangan Islam Tentang KDRT:
Larangan Kekerasan dan Pentingnya Kasih Sayang
Islam mengajarkan bahwa rumah tangga harus menjadi tempat yang aman dan penuh kasih sayang. Dalam Surah An-Nisa (4:19), Allah berfirman:
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Ayat ini menekankan pentingnya memperlakukan pasangan dengan baik, bahkan ketika terjadi perbedaan atau konflik. Dalam Islam, suami-istri diharapkan saling menghormati dan mengutamakan komunikasi yang sehat. Kekerasan, baik fisik maupun verbal, dilarang keras karena bertentangan dengan konsep rahmatan lil alamin kasih sayang untuk seluruh alam.
Hadits Nabi Muhammad SAW juga dengan jelas melarang kekerasan terhadap pasangan. Rasulullah bersabda:
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3895).
Kekerasan bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga merupakan tindakan yang tidak mencerminkan akhlak seorang Muslim. Islam mengajarkan bahwa segala permasalahan dalam rumah tangga seharusnya diselesaikan dengan dialog, bukan dengan kekerasan.
Perspektif Psikologis tentang KDRT:
Dampak dan Siklus Kekerasan
Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi dalam bentuk siklus. Siklus ini meliputi tiga fase: pertama, Fase Ketegangan: Ketika masalah kecil muncul dan meningkatkan ketegangan antara pasangan. Kedua, Fase Kekerasan: Terjadi ledakan kekerasan, baik fisik maupun emosional. Dan ketigaF ase Rekonsiliasi: Pelaku meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya, tetapi siklus ini sering kali berulang.
Dari perspektif psikologi, KDRT memiliki dampak mendalam pada korban. Korban kerap mengalami trauma, kecemasan, dan depresi. Dalam kasus-kasus tertentu, anak-anak yang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan juga mengalami trauma sekunder, yang mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial mereka.
Sebagaimana contoh kasus yang pernah terjadi di beberapa kalangan figure terkenal, seperti kasus Siska yang diangkat melalui podcast CIL bersama Feli Purwo menunjukkan kekerasan fisik ekstrem. Siska mengalami kekerasan hingga koma, yang menandakan betapa besarnya kontrol yang dimiliki pelaku atas hidupnya. Kekerasan dalam hubungan seperti ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga merusak mental dan sosial korban.
Contoh lain datang dari kasus Kurnia Meiga, mantan atlet nasional, menunjukkan kompleksitas KDRT yang melibatkan kekerasan emosional. Tekanan dari karier dan kehidupan pribadi menambah beban emosional dan memperburuk konflik rumah tangganya. Sebagai figur publik, Meiga menghadapi tantangan tambahan berupa sorotan media dan ekspektasi masyarakat, yang memperumit proses pemulihannya.
Sementara itu, kasus lain juga terlihat dari Alfira Firina, seorang selebgram, menghadapi kekerasan verbal dan manipulasi emosional dari pasangannya. Selain berurusan dengan kekerasan, Alfira harus menghadapi permasalahan hak asuh anak, yang memperlambat pemulihannya. Kasus Alfira menunjukkan bahwa kekerasan emosional bisa sama merusaknya dengan kekerasan fisik, terutama ketika korban berada dalam hubungan penuh manipulasi.
Islam mendorong setiap Muslim untuk memprioritaskan perdamaian dan penyelesaian masalah tanpa kekerasan. Dalam hal terjadi konflik dalam rumah tangga, Islam memberikan panduan agar kedua belah pihak mencari solusi melalui musyawarah dan konsultasi dengan pihak ketiga yang bijaksana, seperti tokoh agama atau keluarga. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa (4:35):
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (penengah) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua penengah itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.”
Ayat ini menegaskan pentingnya mediasi dalam menyelesaikan konflik rumah tangga. Mediasi ini bisa menjadi jalan untuk mencegah terjadinya kekerasan dan menjaga keharmonisan keluarga.
Dalam hal ini media juga memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat dan memberikan ruang bagi korban untuk berbicara. Podcast seperti CIL dan Curhat Bang telah membuka ruang bagi korban KDRT seperti Siska, Kurnia Meiga, dan Alfira Firina untuk berbagi cerita dan pengalaman mereka. Dengan berbicara di ruang publik, korban tidak hanya memulai proses pemulihan, tetapi juga menginspirasi korban lain untuk berani melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Namun, berbicara di ruang publik tidak selalu mudah. Korban KDRT kerap dihadapkan pada stigma sosial, yang bisa memperburuk kondisi mereka. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga, komunitas, dan pemerintah sangat dibutuhkan agar korban merasa aman dan didengar.
Selain itu dalam ajaran islam, islam juga mengajarkan pentingnya membangun rumah tangga yang dilandasi oleh kasih sayang dan keadilan. Beberapa langkah yang bisa diambil untuk mencegah KDRT :
1. Edukasi dan Konseling Pranikah: Memberikan pemahaman kepada calon pasangan tentang pentingnya komunikasi dan kesetaraan dalam hubungan.
2. Manajemen Konflik: Mengajarkan teknik penyelesaian konflik tanpa kekerasan.
3. Konseling dan Terapi: Memberikan akses kepada korban dan pelaku untuk mendapatkan bantuan profesional.
4. Dukungan Sosial: Membangun komunitas yang peduli dan mendukung korban untuk keluar dari hubungan penuh kekerasan.
5. Penegakan Hukum dan Bimbingan Agama: Memberikan perlindungan hukum kepada korban dan bimbingan agama untuk mencegah kekerasan berulang.
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Islam menekankan pentingnya membangun rumah tangga yang harmonis dan menolak segala bentuk kekerasan. Kasus-kasus seperti Siska, Kurnia Meiga, dan Alfira Firina memperlihatkan betapa kompleksnya masalah KDRT dan dampaknya yang luas.
Dengan pendidikan, dukungan komunitas, dan penegakan hukum yang tegas, diharapkan keluarga dapat menjadi tempat yang aman dan penuh kasih sayang. Melalui pendekatan berbasis agama dan psikologi, serta peran aktif media, masyarakat dapat mencegah terjadinya KDRT dan membantu korban untuk pulih dan membangun kehidupan yang lebih baik. [ ]
*Penulis: Ahmad Sulthon Auliya |Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam Program Pascasarjana UIN MATARAM