Oleh: Muhammad Fitrah* |
OPINI - Apa yang anda pikirkan tentang partisipasi masyarakat lokal terhadap pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN)? apakah Anda berfikir bahwa partisipasi masyarakat lokal adalah mengenai keterlibatannya dalam merumuskan atau mendiskusikan mengenai pembangunan IKN? atau mungkin Anda berfikir partisipasi masyarakat dalam pembangunan IKN ialah keikutsertaan mereka dalam membangun infrastruktur dan hal-hal yang dibutuhkan dalam pembangunan IKN? atau partisipasi masyarakat yang Anda pikirkan adalah ‘sedekah’ lahan yang dimiliki oleh masyarakat kepada pemerintah untuk membangun IKN?.
Seluruh pemikiran tersebut mungkin saja benar atau mungkin saja kurang tepat, maka dari itu saya ingin mengajak Anda untuk kita bersama-sama menelaah dan menganalisis lebih dalam mengenai bagaimana sebenarnya partisipasi masyarakat yang diharapkan, dan pada level mana partisipasi masyarakat dalam konteks pembangunan Ibu Kota Nusantara. Kemudian, bagaimana pembangunan IKN tidak menghilangkan citra dari Indonesia sebagai negara demokrasi yang erat kaitannya dengan harapan bahwa negara dengan kekuasaannya dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya secara menyeluruh.
Penetapan Regulasi, Minim Partisipasi
Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur tepatnya di sebagian wilayah Kab. Penajam Paser Utara dan sebagian lainnya di wilayah Kab. Kutai Kartanegara merupakan sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan melalui UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Proyek ini tidak hanya bertujuan untuk memindahkan pusat administrasi negara, tetapi juga untuk merevitalisasi konsep pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan cita-cita Indonesia Emas 2045. Proses pembangunan IKN sedang berlangsung dengan target penyelesaian secara bertahap menyambut momentum 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks kekuasaan negara, proyek ini mencerminkan peran negara dalam mengarahkan dan mengelola sumber daya nasional untuk tujuan jangka panjang yang strategis.
Sebelum Undang-Undang IKN disahkan, muncul persoalan mengenai sejauh mana partisipasi masyarakat dalam proses pemindahan ibu kota ini. Dikutip dari penelitian oleh Hasanah dkk., (2024), pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pemindahan IKN kurang memberikan ruang yang memadai bagi partisipasi masyarakat, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 pasal 96 yang mengharuskan pelibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
Hal ini penting karena partisipasi masyarakat adalah pilar dari demokrasi yang sehat, yang memastikan bahwa kekuasaan negara dijalankan dengan legitimasi dan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses ini juga berhubungan erat dengan upaya negara untuk meningkatkan kesejahteraan dengan mendapatkan umpan balik langsung dari warga yang akan terpengaruh oleh kebijakan tersebut.
RUU tersebut disebut-sebut sebagai aturan yang disusun dan disahkan secara tergesa-gesa, dibuktikan dengan durasi pembahasan yang hanya sekitar 42 hari sejak perancangan hingga pembahasan akhir, dibandingkan proses biasanya yang membutuhkan waktu sekitar 150 hari.
Biasanya, rentang waktu ini memungkinkan ruang partisipasi publik secara optimal melalui sosialisasi, diskusi terbuka, dan kunjungan kerja ke daerah-daerah yang terdampak langsung. Hasanah dkk., (2024) menegaskan bahwa mendengarkan dan mempertimbangkan suara masyarakat lokal adalah hal yang krusial, tidak hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap demokrasi, tetapi juga agar kebijakan yang diambil lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan nyata masyarakat, yang pada gilirannya mendukung peningkatan kesejahteraan sosial di wilayah tersebut.
Melibatkan masyarakat lokal dalam pembuatan RUU pemindahan IKN bukan hanya sebatas penghormatan terhadap hak mereka, tetapi juga menjadikan kebijakan sebagai instrumen efektif untuk mengurangi potensi konflik dan mendukung stabilitas sosial di wilayah baru ibu kota. Partisipasi yang aktif dan inklusif dalam tahap perencanaan tidak hanya mencerminkan demokrasi partisipatif yang sehat tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sekaligus meningkatkan kualitas kebijakan publik yang dihasilkan.
Dalam perspektif kekuasaan negara, tindakan ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan kekuasaannya tidak hanya untuk memerintah, tetapi untuk memastikan kesejahteraan dengan menciptakan kebijakan yang didasarkan pada masukan masyarakat. Dengan demikian, melibatkan masyarakat dalam setiap langkah proses pengambilan keputusan adalah langkah mendasar untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan harmonis sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045.
Namun, muncul pertanyaan dari keterlibatan masyarakat yang diinginkan tersebut, bagaimana dengan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat lokal pada saat perumusan RUU tersebut, apakah pemerintah melalui mega proyek IKN mampu untuk menampung dan merealisasikan seluruh aspirasi masyarakat dan menuangkannya di dalam undang-undang? Kegelisahan tersebut tentu perlu untuk difikirkan lebih dalam lagi dengan tidak melihat suatu fenomena melalui satu sudut pandang saja, tetapi melihatnya dari berbagai sisi.
Keterlibatan Masyarakat dalam Pembangunan IKN, Perlu atau Tidak?
Tahun 2022 adalah awal pembangunan IKN dilaksanakan melalui kebijakan yang telah ditetapkan, yaitu UU IKN. Sejak saat itu, proses pembangunan IKN menjadi sorotan publik, dan ruang keterlibatan masyarakat dalam pembangunan IKN masih terus digaungkan oleh berbagai pihak. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat bukan hanya isu akademis atau teoritis, tetapi juga menjadi kebutuhan praktis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Memang, terkait dengan partisipasi masyarakat telah diatur di dalam UU No. 3 Tahun 2022 Pasal 37 ayat 1 dan 2, yang menjelaskan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan Ibu Kota Negara. Partisipasi ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti konsultasi publik, musyawarah, kemitraan, penyampaian aspirasi, dan metode keterlibatan lainnya, yang semua ini dilakukan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, regulasi tersebut masih terkesan kurang begitu serius diterapkan. Realita yang terjadi di lapangan menunjukkan minimnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan IKN. Masyarakat lokal sering kali merasa terpinggirkan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan langsung dengan ruang dan kehidupan mereka. Walaupun pemerintah, melalui Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), telah menyelenggarakan beberapa kegiatan, seperti rembuk budaya dan Forum Group Discussion (FGD) yang melibatkan masyarakat adat, pemangku kepentingan, budayawan lokal-nasional, dan beberapa pihak lainnya, efektivitas kegiatan tersebut sering kali dipertanyakan. Terdapat kesan bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini lebih bersifat simbolis, tanpa memberikan dampak signifikan terhadap proses pengambilan keputusan. (OIKN, 2023b, 2023a, 2024).
Ibarat sebuah bus wisata yang ingin menuju destinasi wisata di Kalimantan Timur, busnya adalah IKN dan seluruh regulasinya adalah bahan baku dan fasilitas yang terkandung di dalam bus tersebut, kemudian sopir bus adalah pemerintah, penumpangnya adalah masyarakat lokal, dan destinasi yang dituju adalah target penyelesaian pembangunan IKN di tahun 2045. Analogi tersebut dapat membantu kita untuk memahami bahwa sebenarnya pada saat ini, level partisipasi atau keikutsertaan penumpang untuk menuju destinasi tersebut berada pada level apa.
Jika partisipasi masyarakat yang dimaksud adalah keikutsertaan penumpang dalam membuat bus, tidak ada penumpang yang ingin berwisata namun sebelumnya harus ikut serta membuat bus terlebih dahulu. Partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan pada saat ini adalah keikutsertaan penumpang untuk bersama-sama dengan supir, mengendarai bus yang telah dilengkapi dengan bahan baku dan fasilitas yang telah ditetapkan dan berjalan menuju destinasi wisata yang dimaksud.
Analogi tersebut juga dapat dibahas melalui teori yang dikemukakan oleh Arnstein (1969) mengenai level keterlibatan ataupun partisipasi publik yang menyediakan kerangka kerja yang penting untuk menganalisis posisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan IKN. Arnstein mengklasifikasikan partisipasi menjadi 8 tingkat yang dibagi ke dalam tiga kategori utama, yaitu: Non-Participation, Degrees of Tokenism (Partisipasi Simbolik), dan Degrees of Citizen Power (Partisipasi yang Nyata).
Pertama, kategori non-participation mencakup manipulation dan therapy (pengabaian), di mana suara masyarakat tidak diambil sama sekali. Dalam konteks IKN, hal ini terlihat pada fase awal yaitu di mana kebijakan ditetapkan tanpa keterlibatan masyarakat setempat.
Kedua, degrees of tokenism (partisipasi simbolik) meliputi informing, consultation, dan placation. Pada tingkat ini, masyarakat diberitahu tentang keputusan, tetapi tidak memiliki kontrol atas proses pengambilan keputusan. Kegiatan seperti FGD sering terjebak dalam kategori ini, di mana masyarakat diundang untuk berbicara, tetapi masukan mereka tidak selalu diintegrasikan ke dalam kebijakan.
Ketiga, terdapat degrees of citizen power (partisipasi yang nyata), yang mencakup partnership (kemitraan), delegated power (delegasi kekuasaan), dan citizen control (kontrol oleh masyarakat).
Dalam konteks IKN, idealnya masyarakat lokal seharusnya diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses perencanaan dan pembangunan secara aktif, memberikan masukan dan memegang kontrol tertentu atas kebijakan yang diambil. Penting untuk dicatat bahwa semakin tinggi level partisipasi, semakin besar peluang untuk menciptakan kebijakan yang lebih relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, mendengarkan dan mempertimbangkan suara masyarakat lokal bukan hanya memberikan legitimasi pada kekuasaan negara, tetapi juga membantu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Membangun kemitraan yang kuat antara pemerintah dan masyarakat lokal sangat penting dalam konteks pembangunan IKN. Dengan menggunakan kerangka kerja Arnstein, pemerintah harus berusaha untuk memindahkan partisipasi masyarakat dari level simbolis menuju level yang lebih tinggi, di mana mereka memiliki suara yang nyata dalam pengambilan keputusan. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan jumlah forum diskusi yang melibatkan masyarakat, mengadakan pertemuan terbuka yang lebih inklusif, dan memperkuat mekanisme feedback untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.
Selain itu, pemanfaatan teknologi dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung upaya ini. Ketika masyarakat merasa dihargai dan didengarkan, mereka lebih mungkin untuk memberi dukungan terhadap proyek pembangunan, yang pada gilirannya dapat menciptakan hasil yang lebih baik dan mendorong keberhasilan pembangunan IKN.
Dalam implementasi prinsip-prinsip teori Arnstein, pendefinisian ulang peran masyarakat sebagai mitra dalam proses pembangunan sangat penting. Hal ini juga berpotensi untuk mengurangi konflik dan meningkatkan kualitas kebijakan yang dihasilkan, karena keputusan yang diambil akan lebih mencerminkan kepentingan dan kebutuhan riil masyarakat. Di sini, teknologi dapat difungsikan untuk memperluas saluran komunikasi, memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi secara lebih mudah dan cepat. Melalui platform digital, pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam konsultasi secara lebih luas, tidak terbatas pada pertemuan tatap muka yang kadang tidak dapat dihadiri oleh semua warga.
Selain itu, dengan menerapkan tingkat partisipasi yang lebih tinggi, diharapkan masyarakat dapat merasa memiliki kontrol dan tanggung jawab atas hasil pembangunan IKN. Dengan memanfaatkan aplikasi dan media sosial, masyarakat tidak hanya dapat menyampaikan aspirasi mereka tetapi juga berdiskusi secara langsung mengenai isu-isu yang berkaitan dengan pembangunan. Misalnya, melakukan survei online atau polling untuk mendapatkan masukan dari masyarakat terkait rancangan kebijakan atau proyek yang akan dilaksanakan.
Akhirnya, penting untuk diingat bahwa partisipasi bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk memastikan bahwa penentuan kebijakan lebih adil, transparan, dan responsif.
Menciptakan saluran yang efektif bagi masyarakat untuk berkontribusi pada proses pembangunan tidak hanya akan membuat IKN lebih berkelanjutan, tetapi juga akan memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia, yang sangat penting bagi masa depan negara.
Demokrasi yang efektif membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, dan teknologi menawarkan solusi yang kuat untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Dengan mengadopsi teknologi dalam proses partisipasi, pemerintah dapat memastikan bahwa semua suara, termasuk suara kelompok yang terpinggirkan, dapat didengar. Hal ini tidak hanya akan membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga menciptakan budaya keterbukaan yang mendukung pemerintahan yang baik.
Di masa mendatang, secara konsisten menerapkan teknologi dalam mekanisme partisipasi dapat membuka jalan bagi model pembangunan yang lebih inklusif, di mana masyarakat tidak hanya menjadi penerima, tetapi juga penggerak dalam proses pembangunan, berkontribusi pada penciptaan IKN yang sesuai dengan aspirasi kolektif mereka. Keterkaitan antara kekuasaan negara, kesejahteraan masyarakat, dan demokrasi sebagai citra bangsa sangatlah erat.
Kekuasaan negara yang menggambarkan kapasitas untuk mengelola sumber daya dan kebijakan publik harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel, didukung oleh teknologi, memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan berarti dari masyarakat. Dalam kerangka ini, keberhasilan pembangunan IKN akan mencerminkan komitmen negara untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, sekaligus memperkuat wajah demokrasi Indonesia sebagai bangsa yang menghargai suara rakyatnya. [ ]
Referensi
Arnstein, S. R. (1969). A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35(4), 216–224. https://doi.org/10.4324/9781315255101-34
Hasanah, R. L., Mulyady, S., Azahra, S., Nuraeni, S., & Ridwan. (2024). Peran Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pembuatan Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia. Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial, 5(8), 91–100.
Indriani, C., Asang, S., & Hans, A. (2021). Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan di Desa Pali Kecamatan Bittuang Kabupaten Tana Toraja. Development Policy and Management Review (DPMR), 1(1), 57–67. https://doi.org/10.61731/dpmr.vi.18597
OIKN. (2023a). Bangun Komunikasi, Otorita IKN dan Masyarakat Adat Kaltim Gelar Rembuk Budaya. ikn.go.id. https://www.ikn.go.id/bangun-komunikasi-otorita-ikn-dan-masyarakat-adat-kaltim-gelar-rembuk-budaya
OIKN. (2023b). Pastikan Keterlibatan Masyarakat, OIKN Gandeng Tokoh Lokal dalam Proses Pembangunan IKN. ikn.go.id. https://www.ikn.go.id/pastikan-keterlibatan-masyarakat-oikn-gandeng-tokoh-lokal-dalam-proses-pembangunan-ikn
OIKN. (2024). Otorita IKN Gelar Forum Diskusi untuk Menggali Potensi Pariwisata IKN. ikn.go.id. https://www.ikn.go.id/otorita-ikn-gelar-forum-diskusi-untuk-menggali-potensi-pariwisata-ikn
*Muhammad Fitrah | Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM