Oleh: Sambirang Ahmadi* |
OPINI - Kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren merupakan isu yang mencoreng lembaga pendidikan agama. Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, semestinya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para santri untuk menimba ilmu. Namun, faktanya belakangan ini, justru marak kasus kekerasan seksual terjadi di pondok pesantren. Peristiwa ini, tentu saja memiliki dampak yang sangat buruk, tidak hanya terhadap korban secara individu, tetapi juga terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan agama.
Dalam dua tahun terakhir, beberapa kasus kekerasan seksual terjadi di pondok pesantren, di Lombok. Misalnya, kasus kekerasan seksual di Pondok pesantren di desa Kotaraja dan desa Sikur, Kabupaten Lombok. Terakhir kekerasan seksual juga terjadi di sebuah Pondok pesantren Lombok Barat, tepatnya di kecamatan Sekotong. Tiga orang pelaku justru merupakan orang dalam, yakni pimpinan pondok pesantren dan ustaz.
Merujuk data provinsi NTB tahun 2023, sekitar 188 anak menjadi korban kekerasan seksual di wilayah ini. Dari jumlah tersebut, sekitar 132 anak adalah korban persetubuhan, dan 56 anak lainnya merupakan korban tindak pencabulan (Ni Made Pujawati, 2022). Data tersebut menunjukkan, NTB menempati zona merah kasus kekerasan seksual. Sebagaimana dijelaskan, Dewi Mardiana Ariany (Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak) Kota Mataram, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2023 merupakan jumlah kasus yang sudah dilaporkan. Diperkirakan masih banyak kasus-kasus lain yang belum terungkap atau dilaporkan.
Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas Institusi Pesantren
Pada dasarnya, pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi santri dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun faktanya, dalam beberapa kasus yang terjadi akhir-akhir ini di Lombok, pesantren malah menjadi lokus terjadinya kekerasan seksual. Ironisnya, kekerasan seksual di pesantren sering kali tidak terungkap, karena adanya tekanan sosial, dan bahkan karena adanya upaya kesengajaan untuk menutup-nutupi kasus tersebut demi menjaga citra lembaga. Hal itu justru akan memperparah penderitaan korban secara psikologis dan sosial, dan memungkinkan pelaku mengulangi perbuatannya lagi, karena kasusnya tidak diusut.
Oleh karena itu, transparansi dalam menangani kasus kekerasan seksual sangat penting. Masyarakat harus ikut serta mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual tersebut. Di samping itu, kita juga membutuhkan ketegasan aparat hukum dalam menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual. Dalam konteks ini, aparat hukum harus berani mengambil tindakan tegas terhadap pelaku tanpa pandang bulu. Agar mata-rantai kekerasan seksual dapat dihentikan. Selain itu, kerja sama dengan pihak berwajib dan lembaga perlindungan korban perlu diperkuat, agar proses hukum berjalan dengan seadil-adilnya.
Perlunya Program "Sexual Literacy" di Pesantren
Kekerasan seksual sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman tentang hak-hak individu, serta lemahnya penerapan nilai-nilai keagamaan yang sejati. Ironisnya, di beberapa lingkungan, pendidikan seksual dianggap tabu, padahal sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada santri tentang batasan, dan cara melindungi diri dari kekerasan seksual.
Literasi seksual adalah pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang seksualitas, termasuk aspek biologis, psikologis, sosial, dan moral. Dalam konteks pesantren, hal ini sangat penting untuk melindungi santri dari berbagai risiko, termasuk kekerasan seksual, serta untuk membangun kesadaran akan nilai-nilai keislaman dalam menjaga martabat diri. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan di pesantren harus kembali pada esensi Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Para pendidik di pesantren harus menjadi teladan dalam menunjukkan akhlak yang mulia, termasuk dalam menghormati martabat setiap individu.
Dengan bekal literasi seksual, santri diharapkan memiliki keberanian untuk melapor. Serta memahami mekanisme pengaduan; yakni bagaimana cara melaporkan kasus kekerasan seksual dan mencari bantuan kepada pihak aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga perlindungan. Implementasi literasi seksual di pesantren dapat diajarkan melalui kurikulum; yakni dengan mengintegrasikan materi literasi seksual dalam pelajaran agama dan akhlak. Bisa juga melalui kegiatan penyuluhan oleh Ahli, yakni dengan mengundang pakar pendidikan seksual untuk memberikan penyuluhan kepada santri di pondok pondok pesantren.
Memperkuat Peran Pengawasan Kementerian Agama
Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) memiliki peran strategis dalam menangani kasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan berbasis agama seperti pesantren. Hal ini membutuhkan sinergi antara Kemenag Provinsi dan Kabupaten demi efektifitas fungsi pengawasan. Beberapa peran penting yang dapat dilakukan oleh Kanwil Kemenag dalam menangani kasus kekerasan seksual sebagai berikut:
Pertama, Pengawasan dan Evaluasi Lembaga Pendidikan Agama. Hal ini dilakukan dengan cara monitoring berkala. Kanwil Kemenag bertanggung jawab melakukan pengawasan rutin terhadap aktivitas di lembaga pendidikan pesantren untuk memastikan tidak adanya kasus kekerasan seksual terhadap santri. Jika ditemukan kasus kekerasan seksual, Kemenag memiliki wewenang untuk mengevaluasi izin operasional dan akreditasi pesantren.
Kedua, Penegakan Aturan dan Sanksi. Kanwil Kemenag dapat memberikan sanksi administratif, seperti pembekuan izin operasional, kepada pesantren yang terbukti melanggar hukum, seperti tindak kekerasan seksual terhadap santri. Kemudian Kemenag melakukan Koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum. Bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, dan lembaga lainnya untuk memastikan pelaku kekerasan seksual diproses secara hukum.
Ketiga, Penyediaan Layanan Pengaduan. Kemenag perlu menyediakan mekanisme pengaduan yang aman dan rahasia bagi korban kekerasan seksual. Hal ini mencakup hotline, layanan daring, atau posko pengaduan. Selain itu, Kanwil Kemenag harus memastikan korban dan saksi mendapatkan perlindungan dari tekanan atau ancaman.
Keempat, Pendampingan dan Pemulihan Korban. Kanwil Kemenag dapat bermitra dengan lembaga psikologi atau organisasi perlindungan anak untuk memberikan pendampingan psikologis dan hukum kepada korban. Serta melakukan upaya Rehabilitasi Sosial dan Pendidikan. Kemenag perlu menyediakan alternatif pendidikan bagi korban yang tidak lagi merasa aman di lembaga asalnya. Sehingga mereka tidak putus sekolah.
Kelima, Edukasi dan Pencegahan. Kemenag perlu mengadakan pelatihan tentang pencegahan kekerasan seksual bagi pengasuh, ustaz, dan santri di lembaga pesantren. Bahkan Kemenag perlu membuat "Modul Pendidikan Seksual", agar santri memahami batasan dan jenis-jenis pelanggaran seksual, sehingga mereka dapat melakukan mitigasi dari ancaman kekerasan seksual.
Kekerasan seksual di pesantren adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dalam masyarakat kita: ketidakseimbangan kekuasaan, lemahnya perlindungan terhadap individu, dan kurangnya keberanian untuk menghadapi masalah secara terbuka. Pesantren, sebagai institusi yang dihormati, memiliki kesempatan untuk menjadi contoh dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bermartabat. Dengan pendekatan yang tegas, transparan, dan berbasis nilai-nilai agama yang sejati, kekerasan seksual di pesantren dapat dicegah dan ditangani dengan lebih baik. Semoga! [ ]
*Sambirang Ahmadi | Mahasiswa Program Doktor UIN Mataram