Notification

×

Iklan

Iklan

Perjamuan Intelektual Dalam Bedah Buku Nasehat Untuk Para Pemuda di Pesantren Luhur Baitul Hikmah Malang

Tuesday, December 3, 2024 | December 03, 2024 WIB Last Updated 2024-12-03T14:21:48Z

Foto Bersama usai Bedah Buku Nasehat Untuk Para Pemuda di Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur

SELAPARANGNEWS.COM - Semarak ulang tahun umumnya selalu dilaksankan dengan nuansa seremonial dan euphoria belaka. Berbeda dengan Pesantren Luhur Baitul Hikmah di Tegalsari, Kepanjen, Kabupaten Malang, pada setiap perayaan Hilang Tahun (baca: Harlah) dilaksanakan dengan nuansa yang sangat khidmat dan sarat akan pengetahuan. 


Bagaimana tidak, Hiltah di Pesantren ini memiliki ciri khas dan daya tarik yang sangat luarbiasa, yang memiliki komitmen yang patut dijadikan role model oleh setiap institusi-institusi pendidikan negeri ini. Pesantren yang menjadi pusat peradaban harus siap menerima perkembangan zaman, inilah yang dicontohkan oleh pesantren ini sebagai bentuk akulturasi modernitas, pengetahuan dan kebudayaan. 

Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Kiai Ach. Dhofir Zuhry selalu memacu santrinya untuk menghasilkan sebuah karya, karena hal itu yang menjadi nilai dan komitmen semarak Hiltah diselenggarakan. Dengan spirit tersebut akhirnya pada Hiltah yang ke-13 ini telah lahir karya baru sebanyak 10 buah buku yang dilaunching dan dibedah selama satu pekan dengan jadwal yang telah ditentukan.

Salah satu karya yang terbit ialah terjemahan kitab Syeikh Musthafa Al-Ghalayaini yang berjudul Idhotun Nasyi’in (Nasehat Untuk Para Pemuda). Karya ini diterjemahkan oleh beberapa santri Luhur Baitul Hikmah,yaitu Falahuddin, Difan, Bahri dan Burhanuddin Ramli. “Waktu yang dibutuhkan untuk menerjemahkan buku ini kurang lebih selama tiga bulan”, tutur Difan, salah satu santri yang ikut menjadi penerjemah. 

Tepatnya, pada senin 2 Desember 2024, buku ini dilaunching dan selanjutnya dibedah oleh Ach. Khairon Nafis yang telah menerjemahkan beberapa kitab-kitab klasik karya-karya Imam al-Ghazali seperti Tahafut al-Falasifah, Mi’yar al-‘Ilm, Bidayah al-Hidayah dan lain sebagainya. 

Dalam proses diskusi dan bedah buku yang dihadiri oleh santri dan audiens dari luar, para penulis menjelaskan bagaimana awal mula inspirasi kitab ini ingin diterjemahkan. 

Difan selaku pembicara pertama memaparkan bahwa niat buku ini ingin diterjemahkan dimulai pada momentum bulan ramadan yang saat itu kitab ini dikaji oleh pengasuh Pesantren, yang mana saat itu, kata Difan, ditemukan banyak istilah-istilah yang bersifat sastrawi

Menurutnya, sangat egois rasanya jikalau kitab yang luar biasa ini hanya bisa diakses oleh santri-santri saja, sehingga dari sanalah itikad baik untuk menerjemahkan kitab tersebut muncul dengan pertama-tama membuat tim penerjemah. 

Dalam bedah buku ini, Falahuddin juga menyampaikan bahwa spirit dari penulis kharismatik ini sangat dibutuhkan oleh generasi era sekarang, dengan banyaknya distraksi, maka diperlukan reformasi pemikiran yang bisa menjadi benteng untuk menghidupkan semangat para pemuda untuk menghadapi era modern. Karena dalam buku ini penuh dengan kiat-kiat secara internal bagimana individu mampu mengkolaborasikan antara agama dan realitas sosial yang dihadapi. 

Kemudian, Burhan selaku pembicara selanjutnya, juga mengamini hal tersebut. kemudian menggambarkan secara umum, kenapa generasi islam masa kini cenderung tertinggal dalam hal perkembangan zaman, karena kita tidak mampu untuk membangun semangat daya juang dalam pribadi masing-masing. 

"Ketika daya juang itu muncul maka semangat komitmen intelektual dan komitmen spiritual akan bisa berjalan secara beriringan, yang berarti bahwa dengan ini kita mampu menjawab tantangan zaman," ucapnya. 

Ust. Khairon Nafis pembedah yang juga dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) al-Farabi memberikan beberapa pandangan dan masukan kepada penulis, mulai dari hal yang bersifat teknis sampai dengan konten buku secara substansial. 

Menerjemahkan sebuah kitab, lanjut Khoiron Nafis, bukan perkara mudah, karena diharuskan masuk ke dalam dunia pengarang yang notabene berbeda zaman dengan dengan penerjemah. 

Dengan perbedaan gografis dan realitas sosial yang dihadapi, lanjutnya, tentu saja buku ini diharapkan mampu diintegrasikan dengan situasi sekarang. "Maka sangat perlu kemudian pandangan dari penerjemah juga dimuat sebagai sebuah anotasi sehingga isi buku ini bisa lebih hidup sesuai zamannya," ujarnya.

Dalam proses penerjemahan, sambungnya, salah satu yang sulit dilakukan ialah mencari padanan kata yang sesuai dengan konteks yang dimaksud pengarang kitab.
 
Setelah ulasan cukup panjang, ia kemudian menyampaikan bahwa sebagai generasi muda jangan sampai kita menertawakan sebuah kebaikan dalam hal ini karya seorang penulis, karena yang berhak menertawakannya adalah orang-orang yang sudah memiliki karya. Secara jelas Ia memberikan sebuah antitesa bahwa seorang pemuda haruslah menciptakan karya.

Kegiatan-kegiatan seperti ini, membuktikan bahwa kegiatan pesantren tidak melulu berkutat pada ranah-ranah yang bersifat religius saja, tetapi lebih jauh dari itu. 

Pesantren harus mampu menghidupkan budaya-budaya keilmuan secara luas yang tentu saja tidak mengesampingkan kebudayaan pesantren itu sendiri. Inilah yang seharusnya menjadi corak pemuda pesantren masa kini. (SN) 
×
Berita Terbaru Update