Oleh: Mahmud Yasin, SH., MH* |
OPINI - Wacana revisi pelaksanaan pilkada langsung atau (proporsional terbuka) menjadi pilkada tidak langsung (proporsional tertutup) merupakan keputusan yang cukup keliru dan terlalu buru-buru, karena hal itu bertentangan dengan sistem presidensil yang diadopsi di Indonesia pasca reformasi.
Salah satu amanah reformasi yang dimulai pada tahun 1998 mengubah banyak hal dalam sistem pemerintahan di Indonesia, termasuk cara pemilihan kepala daerah. Dimana tuntutan utama pasca reformasi adalah peningkatan partisipasi publik dan desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah.
Sehingga pada tahun 1999 diterbitkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan otonomi lebih besar kepada daerah. Keputusan ini untuk mengakhiri dominasi rezim pemerintah pusat ke daerah.
Kemudian diperkuat melalui proses Amandemen UUD NKRI 1945 yang dituangkan dalam pasal 18 ayat (4) dimana Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Konsekuensinya adalah diterbitkan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah tersebut menjadi salah satu pintu masuk diadakan pemilihan umum kepala daerah secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Mekanisme pemilihan umum kepala daerah pertama saat itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2005 Pelaksana UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Dalam pilkada langsung masyarakat disetiap provinsi dan bupati/walikota memiliki hak untuk memilih secara langsung kepala daerah.
Kami mengakui bahwa proses pelaksanaan pilkada langsung mempunyai kelemahan dan tantangan, seperti adanya pembengkakan anggaran, konflik sosial hingga penyelenggara teknis.
Saya kira itu hal biasa di setiap momentum pesta demokrasi di seluruh dunia, pasti adanya pembengkakan anggaran, dan anggaran tersebut berasal dari APBN yang sumber dari pajak rakyat hal yang wajar anggaran tersebut digunakan untuk pesta rakyat dan kepentingan rakyat.
Namun disisi lain pelaksanaan pilkada tidak langsung jauh lebih tragis karena dilaksana sistem perwakilan (DPRD) yang cenderung korup dan transaksional karena ditentukan oleh segelintir elit dan rakyat tidak bisa mengetahui dan mengawasi calon yang diusulkan oleh elit partai rekam jejaknya.
Masyarakat juga akan merasa dibatasi jarak kedekatan dengan pemimpinnya, karena pemimpin yang dipilih oleh elit partai cenderung hedonis dan transaksional, cara-cara ini yang sangat dikhawatirkan oleh rakyat sebagaimana dipraktekkan era reformasi.
Pemilihan tidak langsung adalah mimpi buruk bagi rakyat, dimana rakyat indonesia dipaksakan untuk hidup berdampingan dengan masalah lalu yang begitu mengasingkan. Hal ini perlu dipikirkan dan dikaji ulang oleh para elit parpol dan presiden prabowo.
Disisi lain jika pilkada dikembalikan pada sistem proporsional tertutup maka itu akan di untungkan oleh partai politik pemenang Pilpres dan ini sungguh tidak demokratis terhadap partai politik yang kalah di Pilpres.
Perbandingan Sistem Pemilukada
Membandingkan sistem Pilkada di Indonesia dan negara lain, sebut saja Malaysia dan India, maka hal itu akan sangat tidak apple to apple karena sistem pemerintahan yang diadopsinya sangat berbeda jauh.
Di Malaysia, sistem pemerintahan mengadopsi sistem parlementer federasi, jadi setiap negara bagian diangkat dan diberhentikan langsung oleh Sultan atas usulan Perdana Menteri melalui sistem e-vooting dan veto.
Sedangkan di India menggunakan sistem Republik Demokrasi Parlementer Liberal atau sistem parlementer bebas dengan struktur pemerintahan federasi. Dimana kepala daerah negara bagian ditunjuk oleh partai pemenang dan perdana menteri.
Sementara di Indonesia menganut sistem Presidensial dimana pemilihan presiden maupun kepala daerah ditentukan langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum secara langsung.
Oleh karena itu mahmud mengatakan bahwa praktek sistem pemilukada antara indonesia, india dan malaysia tersebut tidak bisa disamakan karena menganut sistem yang berbeda, baik ditinjau dari aspek kultur sosial, budaya dan prilaku pemilih juga berbeda.
Evaluasi Pemilukada dan Masukan Untuk Pilkada Mendatang
Pilkada serentak tahun 2024 memang perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh mulai dari penyelenggara pemilu, partai politik, dan partisipasi publik.
Pertama, peran penyelenggara pemilu dalam mensukseskan pemilukada perlu diperkuat kewenangan bawaslu terutama hak eksekutorial agar lebih independensi dalam mengawasi tahapan pilkada
Selama ini pengawasan tahapan pilkada oleh bawaslu berjalan tidak linear karena penyelesaian akhir itu berada di wilayah Gakkumdu yang dibawa naungan tiga institusi negara yakni polri, jaksa dan bawaslu yang terkadang sering terjadi silat pendapat dan konflik of intern hal ini yang bisa menghambat proses penegakan hukum pemilu.
Akibat hukumnya, menimbulkan banyak beberapa kasus hukum yang mangkir disetiap tahapan-tahapan pemilu yang tidak terproses dengan baik, ha ini perlu di rumuskan ulang DPR dan Pemerintah tentang keterlibatan 2 institusi polri dan jaksa dalam penyelenggara pemilu.
Kedua, pemerintah dan parpol harus membuat kebijakan baru untuk menekan anggaran pemilu murah meriah, karena lumbung dari mahalnya pemilu disebabkan oleh biaya kampanye dan harga saweran partai politik yang cukup fantastis itulah yang menjadi faktor utama mahalnya biaya pemilu. [ ]
*Mahmud Yasin, SH.,MH.| Alumni Universitas Muhammadiyah Bima yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) NTB.