Minggu 16 Mar 2025

Notification

×
Minggu, 16 Mar 2025

Iklan

Iklan

Pernikahan Siri Dalam Bayang-Bayang Keabsahan Agama dan Kerentanan Sosial

Thursday, March 13, 2025 | March 13, 2025 WIB Last Updated 2025-03-13T10:11:08Z

Penulis*

OPINI - Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam. 


Dalam Bab 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan tidak hanya berdimensi ibadah semata, tetapi juga memiliki konsekuensi sosial dan hukum.


Dalam perkembangannya, muncul berbagai jenis praktik dan karakter pernikahan di tengah kehidupan masyarakat, salah satunya masyarakat mengenal praktik pernikahan siri.Istilah pernikahan siri berasal dari bahasa Arab, yaitu sirran yang bermakna “rahasia” atau “tersembunyi”. 


Dalam dimensi hukum Islam, istilah pernikahan siri merujuk pada akad nikah yang dilangsungkan tanpa diumumkan secara luas kepada masyarakat, namun tetap memenuhi rukun dan syarat pernikahan menurut syariat.


Pernikahan siri di Indonesia menjadi sebuah fenomena yang cukup kompleks dan menjadi sorotan serius. Hal ini disebabkan oleh dari dimensi agama, pernikahan ini dianggap sah karena telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan. 


Tetapi dalam perspektif hukum positif dan perlindungan sosial, pernikahan siri tidak dianggap sah karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan dalam administrasi negara. Selain itu menimbulkan permasalahan sosial yang kaitannya dengan dampak dan hak-hak perempuan dan anak.


Keabsahan Pernikahan Siri dalam Hukum Islam


Dalam hukum Islam, pernikahan dianggap sah bilamana memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang meliputi, adanya calon suami, calon istri, wali, dua saksi, dan ijab kabul. Namun dalam konteks pernikahan siri, para ulama’ berbeda pandangan dan pendapat mengenai praktik pernikahan siri. 


Menurut Imam Syafii dan Imam Hanafi berpandangan bahwa pernikahan tetap sah selama memenuhi syarat dan rukun, walaupun kemudian tidak dicatat secara administratif. Sementara menurut Imam Maliki dan Hambali sangat menekankan pencatatan pernikahan guna menghindari dampak negatif seperti fitnah dan ketidakjelasan di mata hukum hukum.


Imam Maliki misalnya, mensyaratkan adanya (I’lan) pengumuman dalam pernikahan dengan tujuan mencegah hal-hal yang dapat merugikan anak dan perempuan. Di satu sisi, Imam Hambali juga sangat menekankan pencatatan pernikahan, dengan begitu dapat menjadi (ikhtiyath) kehati-hatian untuk memastikan hak-hak pasangan suami istri, khususnya dalam hal warisan dan perlindungan hukum.


Pernikahan Siri dan Hak-Hak Perempuan Serta Anak


Dalam perspektif Maqashid syariah, terdapat 5 tujuan utama yang hendak dicapai dalam hukum Islam: Lima pokok maqashid syariah diantaranya Menjaga agama (hifdz ad-din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Kaitannya dengan pernikahan siri bahwa sering kali bertentangan dengan prinsip menjaga keturunan (Hifz an-nasl) karena sangat berpotensi merugikan perempuan dan anak.


Pernikahan yang dicatat secara administratif sudah pasti menyebabkan istri dan anak tidak memiliki kepastian hukum dalam hak waris dan nafkah. Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 1 Pasal 43 menyebutkan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.


Selain ketiadaan jaminan hukum, dampak negatif dari pernikahan siri bagi perempuan juga rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi anak. Selain itu berdampak pula kepada psikososial dan ekonomi. Perempuan dalam banyak kasus pernikahan siri acap kali mengalami ketidakstabilan emosi akibat dari status perkawinannya. Dari segi ekonomi juga, perempuan lebih sulit mendapatkan hak nafkah setelah perceraian atau saat suami meninggal dunia.


Hukum Positif di Indonesia dan Sikap Negara


Di Negara Kesatuan Republik Indonesia, pernikahan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa setiap pernikahan harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum. Ini kemudian ditegaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk memastikan kepastian hukum bagi pasangan suami istri serta keturunan mereka.


Dalam praktiknya, pernikahan siri dilakukan oleh masyarakat dengan beragam alasan seperti faktor ekonomi, keinginan menghindari prosedur hukum yang dianggapnya rumit, dan alasan- alasan lainnya. Pemerintah telah memberikan solusi bagi permasalahan hukum dan perlindungan untuk masyarakat yang melakukan nikah siri melalui mekanisme itsbat nikah. 


Itsbat nikah merupakan upaya hukum yang memungkinkan pasangan yang telah menikah siri untuk memperoleh pengesahan pernikahan mereka di Pengadilan Agama. Dengan demikian mereka dapat memperoleh buku nikah sebagai bukti sah secara hukum, sehingga pernikahannya diakui oleh negara.


Penulis berpandangan bahwa meskipun itsbat nikah menjadi solusi, tetapi dalam praktiknya penulis melihat bahwa terdapat banyak sekali hambatan dan tantangan, di antaranya adalah;  (1). Proses hukum yang tidak selalu mudah; (2). adanya stigma negatif terhadap masyarakat yang nikah siri; (3). adanya ketimpangan gender dalam pengajuan Itsbat nikah. Laki-laki maupun perempuan berhak mengajukan itsbat nikah, tetapi ketika perempuan yang mengajukan permohonan sendirian lalu si suami tidak hadir, inilah kemudian yang memperumit proses hukumnya.



Pernikahan siri memang memiliki landasan dalam hukum Islam, tetapi dalam konteks sosial modern, praktik ini menimbulkan banyak permasalahan, terutama bagi perempuan dan anak. Meskipun sah secara syariat, pernikahan siri tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pasangan yang menjalaninya.


Dalam konteks hukum Islam di Indonesia, pernikahan harus memenuhi dua dimensi: sah secara agama dan diakui oleh negara. Oleh karena itu, meskipun negara tidak melarang secara eksplisit, regulasi tentang pencatatan pernikahan menjadi bentuk ijtihad hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat sesuai dengan prinsip maqashid syariah.


Ke depan, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencatatan pernikahan harus ditingkatkan agar hak-hak perempuan dan anak terlindungi. Sebab, dalam Islam sendiri, hukum tidak hanya berbicara soal keabsahan, tetapi juga tentang keadilan dan kemaslahatan umat. [ ]


*Penulis: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos | Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Islam UIN Mataram /Sekjen DPC Himpunan Alumni Ponpes Al-Aziziyah Cabang Lombok Timur. 

×
Berita Terbaru Update